Senin, 22 Mei 2017

BAB 7 TRANSFORMASI SPEKTRAL

BAB 7 TRANSFORMASI SPEKTRAL
Selain penajaman citra. masih ada transformasi lain yang serin digunakan untuk menghasilkan infomasi baru. Transformasi ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (a) transformasi yang dapat mempertajam informasi tertentu. namun sekaligus menghilangkan atau menekan infomasi yang lain; dan (b) transformasi yang 'meringkas' infomasi dengan cara mengurangi dimensionalitas data. Berbeda halnya dengan berbagai algoritma penajaman, transformasi khusus ini lebih banyak beroperasi pada domain spektral. Ciri lainnya ialah bahwa dalam banyak kasus, transformasi ini melibatkan beberapa saluran spektral sekaligus.
Dasar utama pengembangan transformasi-transformasi ini adalah feature space. Pada feature space dapat terlihat kecenderungan pengelompokan nilai spektral, yang mengindikasikan adanya pengelompokan objek, terpisah satu sama lain, ataupun membentuk fenomena tertentu.
1.1 PENISBAHAN SALURAN 
Penisbahan saluran (band ratioing) biasa digunakan untuk menghasilkan efek tertentu dalam kaitannya dengan penonjolan aspek spektral vegetasi, pengurangan efek bayangan, serta penonjolan litologi. Melalui penisbahan ini citra baru dihasilkan dengan nilai piksel yang merupakan hasil bagi nilai piksel saluran A dengan saluran B. 

Dengan penisbahan ini, masalah timbul dalam mempresentasikan nilai kecerahan yang baru. Bisa jadi julat nilai hasil penisbahan hanya berkisar antara 0-2,34, padahal kemampuan komputer dalam menampilkan citra pada layar monitor ialah pada julat 0-255 dengan nilai tiap piksel integer (bulat). Artinya, hasil penisbahan ini hanyalah berupa citra dengan kisaran nilai O 2, atau semuanya hitam.
Untuk mengatasi hal ini suatu koefisien perlu ditambahkan sehingga citra yang dihasilkan dapat memiliki julat 0 -255, misalnya: 

Efek Penisbahan Saluran 
Penisbahan dapat menonjolkan aspek kerapatan vegetasi, khususnya untuk penisbahan saluran inframerah dekat dengan saluran merah (lihat pembahasan Indeks Vegetasi). Di samping itu, secara umum penisbahan dapat menekan efek bayangan, misalnya pada lereng yang bervegetasi (Lillesand et al., 2008). Pada Gambar 7.1 terlihat bagaimana perubahan perbedaan nilai untuk jenis vegetasi yang sama, dari citra asli ke citra baru hasil penisbahan. Begitu juga efek perubahan perbedaan nilai untuk tipe vegetasi yang berbeda (daun jarum dengan daun lebar). Untuk daerah yang terbuka, kadang-kadang penisbahan ini dapat diterapkan untuk pembedaan litologi secara spektral.
Gambar 7.1 proses penisabahan (rooting) saluran mampu mengurangi variabilitas informasi spectral vegetasi, yang disebabkan oleh efek bayangan (modifikasi dari Lillesand et al., 2008)
7.1 PENGURANGAN SALURAN
Pengurangan saluran (image differencing) blasa diterapkan untuk mendeteksi perubahan liputan dan satu waktu perekaman ke waktu perekaman yang lain. Secara umum, pengurangan ini dapat diformulasikan sebagai berikut.
Khusus untuk teknik ini, Citra masukan tidak harus berupa citra saluran tunggal, melainkan dapat pula hasu transformasi spektral, misalnya citra indeks vegetasi pada dua tanggal perekaman yang berbeda. Hal penting yang harus diperhatikan ialah bahwa nilai kedua citra masukan harus sudah dikalibrasi Artinya, nilai piksel P(i,j)pada citra A harus mempresentasikan pantulan energi atau nilai spektral yang sama dengan sembarang piksel bernilai P pada citra B. Untuk itu, koreksi atau kalibrasi radiometrik mutlak diperlukan dan hal itu diterapkan sebelum masingmasing saluran ditransformasi secara matematis.
7.3 INDEKS VEGETASI 
Indeks vegetasi merupakan suatu bentuk transformasi spektral yang diterapkan terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil, dan sebagainya. Secara praktis, indeks vegetasi ini merupakan suatu transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus, dan menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi.
Ray (1995) menjelaskan bahwa ada dua macam asumsi dasar dalam pengembangan dan penggunaan indeks vegetasi. Asumsi pertama ialah bahwa beberapa kombinasi aljabar dari saluran-saluran spektral dapat memberikan informasi tertentu tentang vegetasi. Memang secara empiris ada beberapa bukti tentang hal ini. Asumsi kedua ialah bahwa semua tanah terbuka (gundul) pada suatu citra akan membentuk garis imajiner yang disebut garis tanah, apabila piksel-pikselnya diplot pada feature space. Garis ini kemudian diasumsikan sebagai garis yang mewakili piksel tanpa vegetasi. Kemudian, Ray mengelompokkan transformasi indeks vegetasi ke dalam empat golongan besar, yaitu (a) indeks vegetasi dasar (atau generik), (b) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh latar belakang tanah, (c) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh atmosfer. dan (d) indeks vegetasi lainnya. Berikut ini penjelasan beberapa indeks vegetasi dengan menambahkan informasi dari pustaka lain, termasuk Danson dan Plummer (1995) dan Jensen (2005).
7.3.1 Indeks Vegetasi Dasar (Generik) 
Pada mulanya, indeks vegetasi dikembangkan terutama berdasarkan feature space tiga saluran: hijau, merah, dan inframerah dekat. Ketiga saluran ini cukup representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi, sebelum saluran inframerah tengah digunakan secara luas. Meskipun demikian. pola spektral vegetasi pada saluran merah dan inframerah dekat lebih diperhatikan karena sangat berlawanan. Bila diperhatikan. tampak bahwa feature space yang dibentuk oleh saluran inframerah dengan saluran merah menghasilkan sebaran yang lebih lebar. Terlihat pula piksel-piksel vegetasi ternyata mengelompok pada sudut kiri atas, lalu piksel-piksel tanah kering berona cerah pada kanan atas, dan piksel-piksel tanah basah berona sangat gelap berdekatan dengan titik asal (Gambar 7 2). 
Gambar 7.2 Garis vegetasi dan garis tanah (modifikasi dari Richardson dan Wiegand, 1977)
Vegetasi sangat rapat dengan struktur daun atau percabangan yang berbeda bila diplot, ternyata menempati garis imajiner antara tanah gelap egetast (sekitar titik asal ke kiri atas). Garis indah yang disebut dengan garis vegetasi Di situ lain. garis imajiner antara tanah gelap-tanah cerah ( sekitar titik asal ke kanan atas) ternyata ditempati oleh piksel-piksel tanah dengan rona dan kelembapan yang berbeda. Garis inilah yang disebut garis tanah (Richardson dan Wiegand, 1977). Vegetasi dengan kerapatan yang bervariasi ternyata terletak di antara kedua garis ini. Piksel-piksel air jernih dan dangkal terletak di sebelah kanan garis tanah (Gambar 7 2)
Ratio Vegetation Index (RVI) merupakan salah satu transformasi indeks vegetasi yang paling sederhana. Transformasi ini diformulasikan sebagai: 
Bila nilai RVI ini diplot pada feature space inframerah dekat (sumbu y) melawan merah (sumbu x), terlihat bahwa nilai RVI yang sama akan membentuk satu garis, yang juga menunjukkan besarnya gradien, Nilai RVI terbesar ternyata berimpit dengan garis vegetasi, dan nilai RVI terkecil ternyata berimpit dengan garis tanah. Dengan kata lain, garis tanah menunjukkan RVI bernilai 0, garis vegetasi menunjukkan RVl bernilai maksimum (lihat Gambar 7.4).
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Transformasi NDVI ini merupakan salah satu produk standar NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), satelit cuaca yang berorbit polar namun memberi perhatian khusus pada fenomena global vegetasi dan cuaca. Berbagai penelitian mengenai perubahan liputan vegetasi di Benua Afrika banyak menggunakan transformasi ini (Tucker, 1986). Formulasinya adalah sebagai berikut. 
Sama halnya dengan RVI, NDVI mampu menonjolkan aspek kerapatan vegetasi. Secara implisit, berbagai penelitian (lihat Danoedoro, 1989; Wardani, 1992; Jatmiko, 1992) menunjukkan adanya korelasi yang cukup kuat antara RVI dengan NDVI. Artinya, keduanya dapat memberikan efek yang sama. Perbedaan utama di antara keduanya terletak pada nilai asli yang dihasilkan. Pada RVI, nilai terkecil ialah 0 dan nilai maksimum biasanya mencapai dua digit; sedangkan pada NDVI, nilai selalu berkisar antara -1 hingga +1. Pada beberapa paket perangkat lunak, menu indeks Vegetasi RVI, NDVI, TVI, dan sebagainya kadang-kadang telah tersedia, dan citra keluarannya sudah langsung dikonversi ke julat 0 255. Hal ini bagus untuk aspek visualisasi. tetapi belum tentu menguntungkan bagi proses analisis berikutnya, yang bertumpu pada aspek informasi spektral karena tidak ada kejelasan tentang cara konversinya.
Transformasi TVI (Transformed Vegetation Index) dikembangkan untuk menghindari hasil negatif pada NDVI. Formulasinya adalah sebagai berikut. 
Untuk tampilan atau visualisasi langsung, nilai 0,5 ini masih harus disesuaikan dengan kondisx perangkat lunak dan julat nilai spektral citra aslinya Untuk perangkat lunak tertentu (dan layar monitor tertentu) yang mempunyai kemampuan menampilkan 256 warna, nilai 0,5 ini digantikan oleh 127; sedangkan untuk Sistem yang menyajikan 64 warna, nilai 0,5 ini digantikan oleh 31. Hal ini tidak lagi berlaku dewasa ini, karena teknologi layar monitor telah mampu menampilkan puluhan ribu hingga jutaan warna.
Richardson dan Wiegand (1977) mengusulkan dua transformasi indeks vegetasi, yaitu DifferenceVegetarian Index (DVI) dan Pezpendzcular Vegetaaon Index (PVI). Keduanya dikembangkan dari data Landsat MSS di beberapa daerah di Amerika Serikat. DVI diformulasikan sebagai:
DVI = 2.4(MSS7) - (MSS5) ................................................ (7.7) 
Pada formula ini, MSS7 adalah saluran inframerah dekat yang beroperasi pada panjang gelombang 0,8 -1,1 μm MSS5 adalah saluran merah yang beroperasi pada panjang gelombang 0,6-O,7 μm. Pada penelitian ini, data asli MSS7  hanya berjulat 0 63, sedangkan MSS5 berjulat 0 127. Oleh karena itu, apabila transformasi DVI ini akan diterapkan pada data MSS Landsat yang digunakan di Eropa (stasiun penerima negara-negara Eropa, ESA/Earthnet, mengeluarkan produk MSS Landsat dengan julat 0 255 untuk semua saluran), nilai koefisien 2,4 ini harus diganti dengan nilai 1,2. 
Transformasi PVI cukup menarik untuk dikaji karena dasar pemikirannya sedikit berbeda dengan RVI dan NDVI. Berdasarkan sampel yang mereka kumpulkan, diperoleh fakta bahwa sebaran piksel vegetasi ternyata mempunyai jarak tegak lurus tertentu terhadap garis tanah, sebagai fungsi kerapatan atau biomassa. Jarak yang dimaksud di sini adalah jarak spektral karena skala yang digunakan dalam Sistem koordinat kartesian untuk feature spacenya juga skala nilai spektral (lihat Gambar 7.3). 
Ray (1995) men elaskan bahwa PVl dapat dipandang sebagai generalisasi dan DVI yang dapat diterapkan pada sembarang kemiringan garis tanah. Ciri khas dari PVI adalah: (a) indeks diperhitungkan tegak lurus terhadap gans tanah, (b) garis vegetasi yang mempunyai kerapatan sama tergambar sejajr (paralel) dengan garis tanah, (c) garis tanah dapat mempunyai sembarang kemiringan dan selalu melewati titik asal yang tersusun atas sumbu sumbu saluran inframerah dekat (x) dan merah (y), (d) mempunyai julat dari-1 sampa dengan +1. Di samping itu dikatakan bahwa PVI sangat peka terhadap vanasr kondisi atmosfer (Qi et al., 1994 dalam Ray, 1995) PVI d formulasikan sebagai:
PVI = sin (a)* BV inframerah dekat - COS (a) * BVmerah .................. (7.8)
di mana a adalah sudut antara garis tanah dengan sumbu inframerah dekat. Gambar 7.3 menyalikan feature space dan perhitungan sudut antara garis tanah dengan saluran inframerah dekat. yang dijadikan dasar penentuan besarnya PVI. 
Di samping itu ada pula WDVI (Weighted Differenced Vegetation Index) yang diperkenalkan oleh Clevers (1988, dalam Ray. 1995). Ada hubungan dengan PVI, seperti  halnya hubungan PVI dengan NDVI. WDVI merupakan versi matematis yang lebih sederhana daripada PVI tetapi Juga sensitif terhadap variasi kondisi atmosfer. Bedanya dengan PVI adalah bahwa julatnya tak terbatas.
WDVI = BV infamerah dekat  - g *(BVmerah) ................................ (7.9)
Apabila dibandingkan dengan model garis vegetasi pada Gambar 7.2. dalam kaitannya dengan PVI dan WDVI ini, jarak tegak lurus (perpendzcular distance) terjauh dari garis tanah ternyata direpresentasikan oleh piksel piksel vegetasi dengan kerapatan sangat tinggi. Piksel-piksel vegetasi dengan kerapatan rendah ternyata berada pada jarak tegak lurus yang lebih pendek Namun, penyimpangan mulai terlihat karena model ini berlawanan dengan model feature space yang mempresentasikan garis tanah dan garis vegetast yang konvergen ke arah titik asal. Bila model konvergen ini ditumpangtindihkan ke model PVI Richardson dan Wiegand maka terlihat bahwa vegetasi pinus dengan kerapatan sangat tinggi akan dipandang sebagai vegetasi dengan kerapatan yang lebih rendah karena jarak tegak lurusnya ke garis tanah sangat pendek! 
Gambar 1.3 Contoh perhitungan PVI berdasarkan geometri garis tanah dan garis vegetasi untuk beberapa sampel air, tanah. dan vegetasi wilayah Maros
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transformasi PVI dan WDVI tidak dapat diterapkan pada semua kondisi. Menurut beberapa penelitian, PVI ini lebih tepat untuk mengkaji perbedaan yang tipis antara satu tingkat kerapatan dengan tingkat kerapatan yang lain, dan juga untuk liputan vegetasi yang tidak terlalu rapat Lebih dari itu, kita dapat melihat bahwa bila daerah kajian ternyata meliputi beberapa tipe vegetasi yang berbeda (misalnya daun lebar dan daun jarum), transformasi PVI ini dapat memberikan infomasi yang keliru. 
Gambar 7.4 Ration  Vegetation Index (RVI) dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) sebagai fungsi transformasi saluran inframerah dekat dan merah. Perhatikan garis-garis yang menyatakan nilai yang sama untuk RVI dan NDVI
7.3.2 Indeks Vegetasi yang Menekan Gangguan Latar Belakang Tanah 
Gangguan latar belakang tanah adalah gangguan berupa variasi respons spektral tanah yang berbeda-beda, yang menyebabkan kurang akuratnya indeks vegetasi yang dihasilkan. Pada garis tanah, seperti dijelaskan sebelumnya, terdapat bermacam-macam vektor piksel tanah dengan kelembapan dan mungkin juga warna yang berbeda-beda. Di samping itu, kadang-kadang dijumpai beberapa jenis tanah ternyata membentuk garis tanah dengan kemiringan yang berbeda dalam feature space, dengan garis tanah yang sudah ada, atau yang terbentuk oleh piksel-piksel tanah yang lain. Perbedaan ini menyebabkan indeks vegetasi tak dapat diukur secara akurat. Oleh karena itu, dikembangkan indeks vegetasi yang mencoba mereduksi gangguan tanah dengan cara mengubah perilaku garis isovegetasi (yang mempunyai kerapatan sama). Semua indeks ini berbasis rasio (nisbah) dan menggeser tempat garis-garis isovegetasi bertemu. 
Indeks-indeks yang termasuk kategori ini ialah (a) SAVI (Soil Adjusted Vegetarian Index), (b) TSAVI (T ransformed Soil Adjusted Vegetation Index), (c) MSAVI ( Modified Soil Adjusted Vegetation Index), dan (d) MSAV12 (Second Modified Soil Adjusted Vegetation Index). Formulasinya adalah sebagai berikut: 
di mana L ialah faktor koreksi untuk vegetasi, yang besarnya 0 untuk vegetasi sangat rapat dan 1 untuk vegetasi yang sangat jarang. Faktor pengali (1+L) digunakan supaya julat hasil transformasi berkisar antara -1 dan +1. 
di mana a adalah intercept garis tanah, s adalah kemiringan garis tanah, dan X adalah faktor penyesuaian yang diatur untuk meminimalkan gangguan tanah (pada naskah aslinya =0 ,08). Kemudian MSAVI dirumuskan sebagai berikut: 
dengan L dihitung sebagai L = 1-2s(NDVI)(WDVI), dan s adalah kemiringan garis tanah (soil line).
Sementara itu, MSAV12 dihitung dengan rumus berikut. 
7.3.3 lndeks Vegetasi yang Menekan Pengaruh Atmosfer 
Ada dua macam transformasi indeks vegetasi yang dirancang untuk meminimalkan pengaruh atmosfer, yaitu GEMI (Global Environmental Modelling Index) dan ARVI (Atmospheric Resistant Vegetation Index). GEMI bersifat non-linier dan menggunakan isoline vegetasi yang kompleks. julat nilai yang dihasilkan ialah antara 0 hingga +1. ARVI berbasis pada rasio citra. ARVI juga mengasumsikan adanya parent index, yaitu garis tanah; sedangkan isoline-isolme vegetasi memotong parent index. 
Ketika disadari bahwa banyak indeks vegetasi ternyata sensitif terhadap efek atmosfer maka indeks lain dikembangkan dengan cara menerapkan normalisasi terhadap radiansi di saluran biru, merah, dan inframerah dekat, yang disebut dengan ARVI (Atmospherically Resistant Vegetation Index) yang dirumuskan sebagai (Jensen, 2005): 
7.3.4 Indeks Iegetasi dengan Kombinasi Saluran Spektral yang Lain
Sebagian besar formula indeks vegetasi mengandalkan kombinasi saluran merah dan inframerah dekat karena dilandasi asumsi bahwa kedua saluran tersebut paling representatif (dan secara signifikan menunjukkan kecenderungan yang berkebalikan) dalam menyajikan fenomena kerapatan vegetasi. Jensen (2005) melaporkan bahwa ada beberapa kelemahan dalam penggunaan indeks-indeks vegetasi seperti yang telah dibahas terdahulu sehingga kemudian muncul indeks-indeks yang lain. Kelemahan yang sering disebut adalah munculnya efek saturasi pada NDVI, di mana peningkatan kerapatan vegetasi tidak diimbangi dengan peningkatan nilai NDVI. 
Indeks Inframerah II adalah modifikasi atas NDVI, dimana saluran merah diganti dengan saluran inframerah tengah, atau: 
Rumus ini sebenarnya mengacu ke penelitian Hardisky et al. (1983, dalam Jensen, 2005), dan secara spesifik menggunakan saluran TM4 dan TM5 Landsat. Hasil penelitian tersebut diklaim lebih sensitif terhadap biomassa tanaman dan gangguan kandungan air dibandingkan menggunakan NDVI. Penggunaan rumus ini dengan citra satelit lain sebaiknya mempertimbangkan julat panjang gelombang yang serupa.
Ada lagi kombinasi antara saluran inframerah dekat dan inframerah tengah, yang dirumuskan sebagai Moisture Stress Index (MSI) (Rock et al., 1986), di mana rumus ini serupa dengan Ratio Vegetation Index. Hanya saja, posisi saluran inframerah tengah sebagai pembilang dan saluran inframerah dekat sebagai penyebut. 
Sama halnya dengan II, MSI secara spesifik menggunakan saluran-saluran TM4 dan TM5 Landsat Thematc Mapper.
Pemahaman bahwa saluran inframerah tengah sangat bermanfaat dalam kajian vegetasi, terutama terkait dengan kandungan lengas membawa ke pengembangan indeks lainnya, yaitu Leaf Water Content Index (LWCI) yang diusulkan oleh Hunt et al, (1987): 
di mana FT adalah pantulan di saluran yang dispesifikasikan pada rumus tersebut (inframerah dekat dan inframerah tengah), yang mewakili daun pada kondisi kandungan lengas maksimum (fully turgid RWC), yaitu:
Sementara Musick dan Pelletier (1988, dalam Jensen, 2005) menggunakan kombinasi saluran inframerah tengah dan inframerah jauh (sering disebut juga saluran inframerah tengah). memodelkan variasi kelembapan tanah. Indeks ini disebut dengan Indeks Inframerah Tengah (MidIR Index): 
Di samping ARVI (lihat persamaan 7.16 pada Subbab 7. 2 3), dikembangkan juga SARVI (soil and Atmospbenc Resistant Vegetation Index), yang dirumuskan sebagai. 
Meskipun demikian, SARVI juga masih dimodifikasi menjadi MSARVI dengan rumus sebagai berikut. 
Jensen (2005) juga melaporkan bahwa Huete dan Liu (1994) telah  menerapkan analisis sensitivitas terjadap NDVI asli, indeks-indeks lain yang telah diperbaiki (khususnya SAVI, ARVI, SARVI, MSARVI).
Kesimpulannya adalah:
·         jika terdapat koreksi atmosfer secara menyeluruh maka akan muncul lebih banyak gangguan dari respons spektral tanah (soil noise) sehingga SAVI dan MSRAVI merupakan persamaan terbaik, sementara N DVI dan ARVI justru yang paling buruk.
·         Apabila dilakukan koreksi atmosfer secara parsial untuk menghilangkan hamburan Rayleigh dan komponen ozon maka SARVI dan MSARVI merupakan formula terbaik, sementara NDVI dan ARVI tetap yang paling buruk.
·         Apabila tidak ada koreksi atmosfer sama sekali, SARVl merupakan formula yang relatif kurang baik, tetapi mempunyai derau (noise) terkecil di antara yang lain, sementara NDVI dan ARVI tetap saja merupakan indeks yang paling banyak mengandung derau dan kesalahan 
Ratio Vegetation Index (RVI) yang melibatkan saluran merah dan inframerah dekat pun kemudian dimodifikasi dengan melibatkan saluran inframerah tengah, dan menghasilkan RSR (Reduced Simple Ratio) dengan rumus sebagai berikut (Chen, et al., 2002). 
MAX dan MIN adalah nilai maksimum dan minimum pada panjang gelombang terkait.
Di samping menggunakan saluran inframerah tengah, ada pula indeks vegetasi yang memanfaatkan kombinasi saluran inframerah dekat, merah dan hijau, yaitu Triangular Vegetation Index (TVI):
TVI = 0’ 5(120(𝛒InframerahDekat -𝛒Hijau )) - 200(𝛒Merah- 𝛒Hijau)           (7.25)
Beberapa indeks vegetasi memanfaatkan panjang gelombang yang lebih spesifik, yang berpusat pada panjang gelombang tertentu. Karnelie et al. (2001), misalnya, memfokuskan diri pada panjang gelombang yang berpusat di 0,469 μm (biru), 0,555 μm (hijau), dan 0,645 um (merah). Ketiga area panjang gelombang ini menurut kedua peneliti tersebut berkorelasi kuat dengan panjang gelombang 1,6 (inframerah tengah) dan 2,1 μm (inframerah tengah II/inframerah jauh), khususnya pada kondisi langit jernih. Hubungannya dinyatakan sebagai persamaan empiris linier sebagai berikut:
Berdasarkan ketiga persamaan empiris itu dan hubungan yang lain kemudian dikembangkan dua macam indeks yang dipandang bebas dari pengaruh aerosol, yaitu AFRI16 μm dan AFRI 2,1 μm, dengan rumus sebagai berikut. 
Kedua peneliti juga melaporkan bahwa di bawah kondisi langit jernih. kedua rumus AFRI tersebut sangat mirip dengan NDVI-akan tetap kalau kolom atmosfer mengandung asap atau gas sulfat maka keduanya lebih unggul dibandingkan NDVI. Dengan kata lain AFRI sangat bermanfaat dalam kajian vegetasi di bawah kondisi atmosfer yang berasap, polusi karena aktivitas manusia, dan juga asap vulkanik.
Selain di panjang gelombang 0,449 μm, 0,555 μm, dan 0,645 μm, panjang gelombang merah yang berpusat di 0,700 μm dan 0,670 μm juga dipandang bermanfaat dalam menonjolkan kandungan klorofil vegetasi. Rumus CARI (Chlorophyll Absozption in Reflectance Index) dikembangkan dan kemudian dimodifikasi menjadi TCARI (Transformerd Chlorophyll Absorption in Reflectance Index), dengan rumus sebagai berikut (Jensen, 2005).
Penggunaan saluran-saluran tersebut dikaitkan dengan kenyataan bahwa serapan maksimum oleh klorofil a terjadi pada panjang gelombang 0,670 um, sementara 0,700 um merupakan lokasi transisi dari serapan kuat oleh klorofil menjadi pantulan tajam oleh struktur internal daun (dalam hal ini lapisan spongy pada mesofil daun). Area 0,700 um sering disebut sebagai area ujung merah (red edge).
Berdasarkan TCARI kemudian dikembangkan juga OSAVI karena para peneliti juga menjumpai bahwa TCARI sensitif pada latar belakang tanah khususnya pada vegetasi dengan leaf area index (LAI) yang kecil. Daughtry et al. (2000) memgembangkan Optimised Soil-adjusted Vegetation Index (OSAVI) sebagai berikut. 
dan juga nisbah atau rasio antara TCARI dan OSAVI:
Sementara itu Gupta et al. (2001) menjumpai bahwa pada citra Landsat TM, NOAA AVHRR, IIRS-LISS tersebut terdapat wilayah panjang gelombang inframerah dekat, yaitu 0,770- 0,860 μm dan 0,760 -0,900 μm, serta 0,725- 1,100 μm. Sayangnya, ketiga sensor meliput wilayah serapan uap air juga. Kemudian Gupta “menyingkirkan” wilayah spektral yang peka serapan uap air dan menciptakan indeks vegetasi baru (New Vegetation Index, NVI), dengan rumus berikut. 
Penggunaan jumlah saluran yang lebih banyak lagi, yaitu memanfaatkan indeks kehijauan dari transformasi Tasseled-cap (Kauth dan Thomas) didemonstrasikan oleh Hay et al. (1979). Rumus ini dinamakan GRABS (Greeness above Bare Soil), sebagai berikut: 
GRABS = G- 0,09178B + 5,58959 ………………………………………………(7.35)
di mana G adalah Greeness dan B adalah Soil Brightness, mengacu ke citra MSS yang dikoreksi dengan memperhatikan faktor sudut matahari dan gangguan kabut. Meskipun demikian, diperoleh hasil bahwa GRABS serupa dengan Greenes Vegetation Index dari Kauth dan Thomas karena kontribusi B hanya kurang dari 10% dari G.
Tabel 7.1 Beberapa formula indeks vegetasi yang sering digunakan dalam penelitian penginderaan jauh
Nama Indeks
Vegetasi
Formula/ persamaan
Referensi
Ratio Vegetation index
Normalised Difference
Vegetation Index
Transformasi Tasseled-cap(Kauth dan Thomas)
Landsat Multispectral Scanner (MSS)
Brightness = 0,332*MSS1 + 0,603*MSS2+0,675*MSS3+0,262*MSS4
Greeness = -0,283* MSS1- 0,660*MSS2+0,577*MSS3+0,388*MSS4
Yellow = 0,899*MSS1 + 0,428*MSS2+0,076*MSS3-0,041*MSS4
Non-such = 0,016*MSS1 + 0,131*MSS2-0,452*MSS3+0,882*MSS4
Landsat TM
Brightness = 0,2909*TM1+0,2493*TM2+0,4806*TM3+0,5568*TM4
                  +0,4438TM5+0,1706*TM7
Greeness = 0,2728*TM1-0,2174*TM2-0,5508*TM3+0,7221*TM4
                  +0,4438TM5+0,1706*TM7
Wetness = 0,1446*TM1+0,1761*TM2+0,3322*TM3+0,3396*TM4
                 -0,6210TM5+0,4186*TM7
Indeks Inframerah (II)
IndeksInframerah =
Perpendicular Vegetation
Index (PVI)
PVI =
Greeness Above Bare Soil (GRABS)
GRABS = G – 0,09178*B + 5,58959
Moisture Stress Index
(MSI)
MSI =
Leaf Relative Water
Content Index (LWCI)
LWCI =
Middle Infrared Index
(MidiR)
MidiR =
Soil Adjusted
Vegetation Index Modified Soil Adjusted Vegetation Index
SAVI =
Atmospherically Resistant Vegetation Index (ARVI)
ARVI =
Soil and Atmospherically Resistant Vegetation Index (SARVI)
SARVI =
Sumber : Jensen, (2005)
7.4 ROTASI CITRA DAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA (PCA)
Berbagai transformasi indeks vegetasi yang telah diuraikan tadi sebenarnya didasari oleh analisis geometri dalam ruang spektral. Secara khusus, transformasi Tasselled-cap pun dikembangkan melalui teknik rotasi  sumbu-sumbu spektral. Rotasi dan Analisis Komponen Utama (Principal  Component Analysis, untuk selanjutnya disingkat PCA) merupakan cara pandang geometris atas distribusi piksel pada ruang spektral, dan disertai dengan pengubahan kedudukan sumbu-sumbu spektral melalui pemutaran dan penggunaan parameter statistik lain sehingga menghasilkan sumbu-sumbu baru (atau citra baru) dengan distribusi nilai piksel yang lebih jelas dalam menyajikan kenampakan objek.
7.4.1Rotasi Citra
Citra saluran jamak selalu menampilkan distribusi piksel dalam kenampakan yang spesiiik (lihat Bab 3 untuk feature space). Distribusi ini dapat diubah sehingga kenampakan pada citra pun berubah. Rotasi citra merupakan teknik pemutaran sumbu-sumbu saluran dengan sudut tertentu sehingga diperoleh distribusi piksel yang optimal. Pengubahan distribusi ini berakibat pada perubahan nilai vektor piksel (karena koordinatnya berubah).
Perubahan yang diakibatkan oleh rotasi dengan sudut ɵ ini ialah dihasilkannya citra baru, yang dapat didefinisikan sebagai berikut (Kostwinder et al., 1991).
BV rot-1 = BV saluran_2 x Cos (ɵ) – BV saluran_2 x Sin (ɵ) ……………………(7.36)
BV rot-2 = BV saluran_1 x Cos (ɵ) + BV saluran_2 x Sin (ɵ) ……………………(7.37)
7.4.2 Analisis Komponen Utama (PCA)
Analisis komponen utama atau analisis faktor (Principal Component Analysis, PCA, atau Transformasi Karhunen Loeve) merupakan teknik rotasi yang sangat spesiiik. PCA pada dasarnya adalah teknik rotasi yang diterapkan pada sistem koordinat multisaluran (bahkan lebih dari 3 dimensi) sehingga menghasilkan citra baru dengan jumlah 'saluran' yang lebih sedikit. Dengan kata lain, PCA mampu mengurangi dimensionalitas data. Oleh karena itu, PCA sering dipandang sebagai teknik kompresi (pemampatan) infomasi yang sangat efisien. Manfaat utama PCA ini ialah efisiensi dalam pengamatan visual citra (tidak usah terlalu banyak membandingkan citra beberapa saluran sekaligus), serta elisiensi proses klasifikasi multispektral (mengurangi jumlah saluran masukan, tanpa mengurangi kandungan infomasi). 
Gambar 7.5 Prinsip kerja PCA: berdasarkan informasi multidimensional (atau multisaluran) ditentukanlah sumbu-sumbu baru dalam jumlah yang lebih sedikit, namun memuat sebagian besar iniormasi yang dimiliki oleh seluruh saluran. Pada gambar ini terlihat, dalam penyederhanaan, dua saluran dapat 'diringkas' menjadi satu saluran baru.
Pada Bab 3 telah disinggung bahwa korelasi antarsaluran justru mengurangi kandungan informasi citra. Semakin rendah korelasi saluran-saluran tersebut, semakin tinggi potensi mereka untuk saling melengkapi. Contoh pada Gambar 7.6 menunjukkan bahwa saluran A dan saluran B berkorelasi kuat sehingga distribusi piksel. kedua saluran tersebut cenderung linier. Bertitik-tolak dari gagasan ini sebenarnya dapat diturunkan informasi berdasarkan satu saluran baru dengan menggunakan koordinat baru, yang  menggantikan saluran A dan B. Pada sumbu baru terlihat bahwa piksel terdistribusi lebih merata ,dibandingkannada sumbu-sumbu asli.
Bila saluran yang dipertimbangkan ternyata lebih dari dua maka PCA akan mencari sudut rotasi yang paling tepat sehingga dihasilkan 'sumbu-sumbu' baru yang saling tidak berkorelasi. Sumbu-sumbu ini disebut sebagai sumbu utama (principal component). Sumbu utama pertama, PC1, terletak pada posisi distribusi piksel yang variansinya paling besar (sumbu panjang pada Gambar 7.5 mempunyai nilai variansi yang lebih besar dari pada dua sumbu asli). Sumbu utama kedua, PC2, adalah sumbu baru yang dibuat tegak lurus terhadap PC1, dengan nilai variansi terbesar setelah PC1. Bila saluran A dan B ternyata masih 'ditemani' oleh saluran C maka Sumbu PC3, tentu saja, tegak lurus terhadap PC1 dan PC2.
Untuk memutuskan rotasi, PCA membutuhkan informasi mengenai statistik citra, khususnya korelasi antarsaluran, variansi, dan kovariansi. Berdasarkan informasi ini, disusun matriks korelasi R dan matriks variansi-kovariansi citra multisaluran tersebut. Baik S maupun R menjelaskan bentuk sebaran nilai piksel (berupa elips kalau masukannya dua saluran, dan berupa elipsoida kalau masukannya tiga saluran atau lebih). Melalui aljabar linier, informasi berupa nilai-eigen (eigenvalue) diturunkan. Nilai-eigen ini memberikan informasi mengenai panjang sumbu-sumbu utama yang baru pada elipsoida piksel. Nilai-eigen 'ditemani' oleh informasi vektor-eigen (eigenvectors), yang menjelaskan tentang arah sumbu-sumbu utama yang baru dalam elipsoida tersebut.
Panjang sumbu-sumbu utama yang baru (PC 1, PC2, PC3, ...) dan arahnya, yang ditentukan oleh nilai-eigen dan vektor-eigen, memberikan nilainilai piksel yang baru, yang telah ter-redistribusi (atau ter-reproyeksi). Berdasarkan banyak penelitian, berapa pun jumlah saluran masukannya, hanya tiga komponen saja yang memuat informasi seluruh saluran pada persentase terbesar, yaitu PC1 (sekitar 90%), PC2 (sekitar 50-7%), dan PC3 (sekitar 2%). Bila yang digunakan sebagai masukan adalah ketujuh saluran TM-Landsat, misalnya, maka penggunaan ketiga 'saluran' baru ini sudah mewakili semuanya.
Campbell (2002) memberikan deskripsi yang mudah dipahami mengenai PCA ini. Menurut Campbell, pada dasarnya PCA merupakan transformasi yang mencoba mengindentirikasi persamaan berupa kombinasi linier yang paling optimum dari beberapa saluran masukan, yang dapat menghitung variasi nilai-nilai piksel pada citra. Apabila terdapat empat saluran spektral yang berturut-turut dinamakan B1, B2, B3, dan B4 maka kombinasi linier mi berbentuk sebagai berikut:
A = C1B1 + C2B2 + C3B3 + C4B4……………………………………………..(7.38) 
di mana A adalah “saluran” baru yang dihasilkan, dan C1, C2, C3, serta C4 adalah suatu koefisien yang diterapkan pada masing-masing saluran. 
Gambar 7.6 PC1 sampai dengan PC6 hasil transformasi PCA atas keenam saluran Thematic Mapper Landsat daerah Maros. Perhatikan bahwa PC1 memuat informasi spektral paling banyak dan secara visual jelas, sedangkan kenampakan PC6 justru tidak jelas. 
Misalnya C1 = 0,35, C2 = -0,08, C3 = 0,36 dan C4 = 0,86; sedangkan suatu piksel pada B1 bernilai 28, lalu piksel pada posisi yang sama pada B2 =29, pada B3 = 21 dan pada B4 = 54, maka piksel pada posisi yang sama tersebut menjadi nilai baru pada 'saluran' baru A, dengan nilai : 61,48. Karena B1, B2, B3, dan B4 (atau dapat lebih banyak lagi pada sistem multispektral  dengan saluran yang lebih banyak, misalnya Landsat ETM+_ atau ASTER), maka nilai barunya juga bervariasi. 
Nilai optimum untuk setiap koefisien diperoleh melalui prosedur statistik yang mampu memastikan bahwa nilai-nilai koefisien yang dihasilkan mewakili nilai variasi yang terbesar dalam satu himpunan data citra terSebut. Dengan kata lain, pada contoh di atas, keempat saluran (B1 hingga B4) digantikan oleh saluran baru A hasil pembentukan melalui kombinasi linier, yang mampu mewakili variasi terbesar dari keempat saluran. Prosedur yang sarna mampu menurunkan himpunan kedua untuk koefisien-koefisien E1, E2, E3, dan E4, yang dalam persamaan kombinasi linier yang sama akan mampu menurunkan “saluran” baru kedua (sebut saja D) dengan kandungan informasi yang memuat variasi lebih kecil dibanding A.
Penjelasan yang lebih matematis atas uraian Campbell diberikan oleh Gao (2010), dengan memberikan contoh perhitungan PCA langkah demi langkah, mulai dari contoh pasangan nilai piksel pada dua saluran hingga perhitungan matriks variansi-kovariansi dan penentuan nilai factor loadingnya sebagai berikut. Misalkan ada sejumlah N (N=8) pasangan nilai piksel pada saluran 1 dan saluran 2 suatu citra seperti tersaji pada Tabel 7.2. Berdasarkan pasangan nilai piksel itu, matriks variansi-kovariansi V dapat dihitung melalui persamaan berikut.


Setelah matriks variansi-kovariansi ditentukan maka matriks korelasi R dapat ditentukan berdasarkan rumus: 

Tabel 7.2 pasangan nilai piksel untuk N=8 dengan hasil perhitungan komponen I (PCI) dan komponen 2 (PC2)
Piksel
Nilai di
Nilai di
(xi - )
Nilai di
Nilai di
ke
sai_1
sai_2
sai_1
sai_2
PC-1
PC-2
1
2
4
-3
-1
3,83
2,30
2
4
5
-1
0
6,06
2,07
3
3
6
-2
1
5,75
3,45
4
4
3
-1
-2
4,99
0,38
5
7
8
2
3
10,20
2,99
6
7
6
2
1
9,13
1,30
7
8
5
3
0
9,43
-0,08
8
5
3
0
-2
5,83
-0,16
5
5
                        Modifikasi dari Gao,2010
Dengan kata lain, berdasarkan data pada contoh kedua saluran berbagai informasi sebesar 44%. Matriks variansi setelah transformasi harus memenuhi kondisi sebagai berikut:
|V –– λ I | = 0 …………………………………………………………(7.41)
di mana I = matriks identitas dan λ = matriks nilai eigein.
Bentuknya adalah sebagai berikut:
Untuk proses selanjutnya, Gao (2010) menyebutkan tiga hal penting yang perlu diperhatikan dari matriks variansi-kovariansi V dan matriks nilai eigen  λ yaitu: 
      Total variansi dari dua saluran spektral (yaitu 6 + 4 = 10) sebelum proses transformasi sepenuhnya sama dengan jumlah total nilai eigen (yaitu unsur-unsur diagonal utama: 7,36 + 2,64 = 10) setelah proses transformasi. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa PCA tidak menciptakan informasi baru dalam komponen-komponen yang dihasilkan, melainkan hanya mendistsribusikan kembali informasi yang tersedia melalui komponen-komponen yang dihasilkan.
2.      Koefisien korelasi antara dua 'saluran' baru yang tercipta (setelah transformasi) adalah nol, yang berarti bahwa kandungan informasi pada PC1 sama sekali tidak bertampalan dengan informasi pada PC2. Dengan alasan ini maka matriks nilai eigen biasanya ditulis sebagai matriks satu-dimensi [7,36 2,64].
3.      Sebelum transformasi, saluran 1 memuat 6/(6+4) atau 60% dari keseluruhan informasi yang ada pada kedua saluran. Setelah transformasi, PC1 memuat 7,36/(7,36+2,64) atau 73,6% informasi dari kedua saluran asli. Sebaliknya, saluran 2 sebelumnya memuat 4/(6+4) atau 40% infomasi dan kemudian jatuh menjadi hanya 2,64/(7,36+2,64) atau 26,40/0 dari total informasi yang dipunyai oleh kedua saluran. Dengan demikian, setiap PC1 dari suatu transformasi PCA selalu memuat paling banyak informasi dibandingkan komponen-komponen berikutnya.
Untuk memproyeksikan kandungan informasi saluran-saluran masukan X ke citra-citra komponen baru Y, perlu ditentukan matriks transformasi G. Tujuan transformasi citra ini adalah untuk membangun suatu ruang spektral (feature space) baru yang mempunyai kovariansi antarkomponen yang bernilai nol.
Y = GX…………………………………………………………………………..(7.42)
G merupakan matriks rotasi dengan bentuk sebagai berikut: 
G juga harus memenuhi kondisi berikut : G-1 = GT
Dengan kata lain. matriks inversi sama dengan matriks transposisi sehingga nilai-nilai piksel tidak diperbesar atau diperkecil setelah transformasi. 
G ditentukan oleh matriks variansi-kovariansi dan matriks nilai eigen secara bersama-sama, atau: 

Solusi dari persamaan-persamaan di atas menghasilkan g12: = -0,5372 dan g22 = 0,8435. Dengan demikian:
Matriks G ini sering kali disebut juga sebagai matriks pembebanan (loading matrix) dalam statistik, dan merepresentasikan sudut rotasi dari domain spektral citra lama (saluran 1 dan saluran 2 yang mewakili berturut-turut sumbu x dan y) menjadi citra baru berupa PC1 dan PC2, yang diwakili oleh x’ dan y", dengan sudut rotasi 0 = 36°06’.
Nilai elemen dalam matriks G mengatur nilai-nilai piksel pada saluran 'mentah' agar disusun kembali dalam tiap komponen. Nilai piksel keluaran setelah transformasi merupakan suatu kombinasi linier seluruh nilai piksel masukan. Mengacu kembali ke contoh delapan piksel pada Tabel 7.2, koordinat spektral (nilai piksel pada dua sumbu baru PC1 dan PC2) kedelapan piksel diberikan dalam dua kolom terakhir pada tabel tersebut. 
7.5 TRANSFORMASI KAUTH DAN THOMAS (TASSELED-CAP)
Uraian indeks vegetasi baru menyebutkan transformasi yang menggunakan dua saluran, khususnya saluran merah dan inframerah dekat. Beberapa transformasi lain, terutama yang berdasarkan data MSS Landsat, dikembangkan dengan menggunakan seluruh saluran (MSS4, MSS5, MSS6, MSS7). Contoh paling terkenal ialah transformasi Kauth dan Thomas (1976) yang kemudian lebih sering dikenal sebagai Tasseled Cap Transformation (TCT).
Transformasi Kauthdan Thomas (1976) memanfaatkan feature space pada keempat saluran sekaligus. Telah disebutkan bahwa pada feature space tiga saluran, sebaran piksel cenderung membentuk kenampakan seperti 'topi berkucir atau berhias rumbai-rumbai. Oleh karena itu, transformasi Kauth dan Thomas sering juga disebut sebagai Tasseled-cap Transformation. Prinsip transformasi ini ialah penyusunan kembali sumbu-sumbu saluran (empat saluran MSS) dalam ruang spektral sehingga sumbu-sumbu tersebut terputar (terotasi) ke arah-arah tertentu, yang satu sama lain ortogonal. Masing-masing sumbu ini tidak lagi disebut sebagai saluran MSS4, MSS5, MSS6, dan MSS7, melainkan sebagai sumbu kecerahan (brightness), kehijauan (greeness), kelayuan ( yellowness), dan ketidaktentuan (none such). Melalui sistem koordinat yang baru ini, garis tanah dan garis vegetasi dapat direpresentasikan dengan lebih jelas. Penyusunan kembali sumbu-sumbu ini seperti pada PCA, namun dengan pertimbangan sumbu terpanjang yang merepresentasikan variasi kecerahan tanah.
Sumbu kecerahan berkaitan dengan variasi pantulan latar belakang tanah, kemudian sumbu kehijauan berhubungan dengan variasi pantulan vegetasi hijau, sedangkan sumbu kekuningan menggambarkan variasi dalam proses menguningnya daun yang menua/melayu. Beberapa penulis menafsirkan sumbu ketidaktentuan sebagai ekspresi kondisi atmosfer. Berdasarkan transformasi ini, beberapa transformasi diturunkan oleh Kauth et al. (1979) dan Thompson dan Wehmanen (1980). Empat transformasi tersebut ialah Soil Brightness Index (SBI), Green Vegetation Index (GVI), YeIIow Stuff Index (YVI), dan None Such Index (NSI):
SBI = 0.332 MSS4 + 0.603 MSS5 + 0.675 MSS6 + 0.362 MSS7                 (7.45)
GVI = - 0.283 MSS4 + -0.660 MSS5 + 0.577 MSS6 + 0.388 MSS7             (7.46)
YVI = -0.899 MSS4 + 0.428 MSS5 + 0.076 MSS6 – 0.041 MSS7               (7.47)
NSI = -0.016 MSS4 + 0.131 MSS5 – 0.452 MSS6 + 0.882 MSS7               (7.48)
Kehadiran sensor TM (Thematic Mapper, pada Landsat 4 dan Landsat 5) yang mempunyai 7 saluran mendorong para peneliti untuk melihat efek penggunaan 6 saluran terhadap pengembangan transformasi Kauth dan Thomas tersebut. Crist (1983, dalam Mather, 1987), kemudian Crist dan Cicone (1984) meneliti hal ini dengan memperhatikan efek rotasi keenam saiuran. Hasil menarik dari penelitian ini ialah bahwa fungsi kecerahan RI (hasil rotasi yang menggambarkan sumbu kecerahan) pada MSS dan TM tidak berkorelasi tinggi. Meskipun demikian, fungsi kehijauan (R2) keduanya berkorelasi cukup tinggi. Pada data TM ini diperoleh informasi berharga pada sumbu ketiga, yaitu sumbu kebasahan (wetness). Hasil modifikasi Tasseled-cap transformation untuk data TM Landsat saluran 1 -5 dan 7 disajikan sebagai berikut (nilai-nilai yang tercantum menunjukkan koefisien pengali pada tiap saluran) (Gao,2010).
Sumbu
TM1
TM2
TM3
TM4
TM5
TM7

baru







Brightness
0,3037
0,2793
0,4743
0,5585
0,5082
0,1863
(7.49)
Greeness
-0,2848
-0,0,2435
-0,5436
0,7243
0,0840
-0,1800
(7.50)
Wetness
0,1509
0,1973
0,3279
0,3406
-0,7112
-0,4572
(7.51)
Goa (2010) juga menambahkan bahwa parameter berikut dapat digunakan untuk menghilangkan kabut ( dehazing) citra Landsat TM.
Sumbu
TM1
TM2
TM3
TM4
TM5
TM7

Baru







Haze
0,8832
-0.0819
-0.458
-0.0032
-0.0563
0,0130
(7.52)
       
jika pada hasil penelitian Richardson dan Wiegand diperoleh model dua dimensi (MSS7 vs MSS5), dengan garis tanah dan garis vegetasi, maka hasil transformasi Tasselled Cap pada data TM ini diperoleh model 3 dimensi (tiga sumbu: sumbu kecerahan, sumbu kehijauan, dan sumbu kebasahan), yang menggambarkan bidang tanah dan bidang vegetasi (lihat Gambar 7.7). Karena Landsat-7 ETM+ mempunyai nilai parameter sensor yang agak berbeda dengan Landsat-5 TM maka formulasi untuk transformasi brightness, greeness, dan wetness juga agak berbeda, seperti tersaji berikut ini (Liu dan Mason, 2009).
Sumbu
EM1
ETM2
ETM3
ETM4
ETM5
ETM7

Baru







Brightness
0,3561
0,3972
0,3904
0,6966
0,2286
0,1596
(7.53)
Greeness
-0.3344
-0.3544
-0.4566
0,6966
-0,0242
-0,263
(7.54)
Wetness
0,2626
0,2141
0,09266
0,0656
-0,5388
-0,5388
(7.55)
Adapun modifikasi transformasi tasseled cap untuk Ikonos dan Quickbird tersaji berikut ini (Nuvulur, 2007).
Sumbu baru
IKONOS
IKONOS
IKONOS
IKONOS



Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Saluran 4



(biru)
(hijau)
(merah)
(IM dekat)


Brightness
0,326
0,509
0,560
0,567

(7.56)
Greeness
-0,311
-0,356
-0,325
0,819

(7.57)
Wetness
-0,612
-0,312
-0,081
-0,081

(7.58)
Sumbu baru
QUICKBIRD
QUICKBIRD
QUICKBIRD
QUICKBIRD


Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Saluran 4


(biru)
(hijau)
(merah)
(IM dekat)

Brightness
0,319
0,542
0,49
0,604
(7.59)
Greeness
-0,121
-0,331
-0,517
0,780
(7.60)
Wetness
-0,652
-0,375
-0,639
-0,163
(7.61)
Gambar 7.7 Transformasi Tasselled-cap berdasarkan data Thematic Mapper Landsat (Modifikasi dari Liu dan Mason (2009) dan Gao (2010)
 7.6 APLIKASI TRANSFORMASI KHUSUS DALAM STUDI PENGINDERAAN JAUH
Transformasi khusus sebenarnya dimulai dari berbagai penelitian eksperimental menggunakan spektrometer atau radiometer di lapangan. Berbagai peneliti menyajikan hasil penelitian mereka pada berbagai jurnal, sehingga tidak cukup untuk disajikan pada ruang yang sesempit ini. Dalam penerapannya, transformasi khusus ini digunakan untuk berbagai studi, mulai dari pengamatan tahap-tahap pertumbuhan vegetasi (fenologi) (Shibayama dan Akiyama, 1988).
Untuk transformasi indeks vegetasi, terdapat pola yang serupa dalam metode pemetaan suatu fenomena biofisik. Pertama-tama, pengukuran langsung ataupun pengumpulan sampel di lapangan dilakukan. Penentuan lokasi sampel ini didasari oleh pola spektral atau warna yang tampak pada citra. Hasil pengamatan atau analisis laboratorium ini kemudian dinyatakan secara kuantitatif, dan dikaitkan dengan pasangan nilai-nilai spektral saluran 1, 2, 3, …, n pada posisi piksel yang sama. Transformasi indeks vegetasi diterapkan terhadap pasangan nilai-nilai spektral sampel ini.
Setelah itu, persamaan regresi yang mengekspresikan hubungan antara x (parameter biofisik yang diamati) dengan y (nilai spektral pada tiap saluran dan hasil transformasi). Pasangan x dan y yang memiliki nilai koefisien determinasi (r2) terbesar akan dipilih. Dengan demikian, persamaan regresi yang diperoleh tinggal dibalik (dari y=f1(x) menjadi x= f2 (y)) untuk diterapkan pada citra indeks vegetasinya. Hasilnya adalah distribusi kuantitatif fenomena biofisik yang diamati. Nilai yang muncul pada 'peta' distribusi fenomena biofisik ini masih perlu diklasifikasi kembali berdasarkan kelas-kelas interval tertentu, sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam penggunaan metode semacam ini ialah perlunya kalibrasi ataupun pertimbangan mengenai kemungkinan perbedaan informasi spektral objek antara tanggal perekaman dengan tanggal pengambilan sampel. Pada penelitian-penelitian eksperimental, seperti halnya yang dilakukan oleh Richardson dan Wiegand (1977), perekaman oleh satelit dan pengambilan data dilakukan bersamaan hal ini sulit rasanya untuk dapat diterapkan di Indonesia, mengingat biaya dan kemampuan prakiraan cuaca di negeri ini. 
Pertimbangan lain ialah dalam hal variabilitas spasial lingkungan fisik. Vegetasi yang sama, yang tumbuh pada kondisi batuan atau tanah yang berbeda dan dengan kondisi medan yang berbeda pula, akan tercatat dengan nilai spektral yang berbeda, Kontrol atas variabilitas spasial semacam ini dapat dilakukan mengintroduksikan zona-zona ekologis berupa peta satuan medan atau satuan lahan, dan dapat pula berupa peta satuan agro-ekologi.
PCA biasa diterapkan dalam bidang geologi, terutama untuk negara-negara beriklim sedang ataupun kering, yang mempunyai wilayah dengan banyak singkapan batuan atau secara musiman tidak tertutup vegetasi. Hasil penelitian beberapa peneliti menunjukkan bahwa PCA ini mampu mempertajam perbedaan litologi. Untuk Indonesia, cara serupa mungkin kurang tepat, kecuali kalau diterapkan di pulau-pulau kecil dengan curah hujan rendah di Indonesia Timur.  Gambar 7.8 dan 7.9 menyajikan citra asli yang mewakili daerah Maros Sulawesi Selatan, serta hasil transformasinya.
 
Gambar 1.8 Citra-citra saiuran ash yang dihasilkan oleh sensor ETM+ Landsat, daerah sekitar Maros, Suiawesi Selatan. (a) ETMI (biru), (b) ETM2 (hijau). (c) ETM3 (merah), (d) ETM4 (inframerah dekat), (e) ETM5  (inframerah tengah yang pertama), (f) ETM7(inframerah tengah yang kedua)
7.7 MODEL FOREST COVER DENSITY (FCD)
Pada paruh kedua dekade 90-an, kesadaran bahwa penggunaan indeks Vegetasi kadang kala tidak mampu menghasilkan estimasi yang akurat tentang kerapatan dan struktur vegetasi hutan tropis telah mendorong Perkembangan model baru yang disebut dengan forest covers density (FCD) mapper (Roy et al., 1997; Rikimaru et al., 2002; Riklmaru dan Miyatake, 1997). Lebih dari itu, model pemetaan. vegetasi berbasis transformasi FCD ini kemudian diadopsi oleh Internacronal Timber Trade Organization (ITTO) yang bermarkas di Jepang, dan dikembangkan menjadi Perangkat lunak tersendiri. Banyak penelitian telah dilakukan  dengan menggunakan FCD, baik di Indonesia maupun negara-negara tropis lainnya, meskipun tidak selalu memberikan hasil yang sangat akurat. Lepas dari hal itu, model FCD menarik untuk dibahas karena berbeda dengan transformasi indeks vegetasi lain yang kebanyakan hanya mengandalkan informasi spektral pada saluran merah dan inframerah dekat-model ini memanfaatkan keragaman spektral dari biru hingga termal dan sangat sesuai untuk saluran-saluran spektral Landsat TM maupun ETM+.
Secara garis besar, model FCD merupakan model transformasi yang rumit. Untuk menurunkan nilai indeks kerapatan vegetasi hutan, FCD mensyaratkan pembentukan model-model indeks lain terlebih dahulu, yang disebut dengan index vegetasi (vegetation index, VI), indeks tanah terbuka (bare soil  index, BI), indeks bayangan (shadow index, SI), dan indeks termal (themal index, TI). Kombinasi VI dan SBI digunakan untuk menurunkan indeks baru yang disebut kerapatan vegetasi (vegetation density, VD); sementara SI dan TI digunakan untuk menurunkan indeks bayangan tajuk (shadow-scaled index, SSI). Selanjutnya, integrasi VD dan SSI digunakan untuk menurunkan nilai kerapatan tajuk vegetasi hutan atau FCD, seperti tersaji pada Gambar 7.10.
7.7.I Model-model Indeks dalam FCD
Indeks-indeks dalam FCD saling berhubungan dan menunjukkan kondisi komposisi struktural vegetasi tertentu, seperti tersaji pada tabel berikut ini.
Tabel 7.3 Hubungan antarindeks dalam model FCD
FCD Tinggi
FCD sedang
Padang rumput
Tanah terbuka
AVI
Tinggi
Sedang
Tinggi
Rendah
BI
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
SI
Tinggi
Sedang
Rendah
Rendah
TI
Rendah
Sedang
Sedang
Tinggi
Sumber : Rikimaru et al., 2002
Gambar 7.10 Diagram alir proses penyusunan peta kerapatan liputan hutan (FCD) menurut Sumber : Rikimaru et al., (2002)
1. Indeks Vegetasi AVI
Indeks vegetasi dalam model FCD dinyatakan dengan Advanced Vegetarian Index (AVI), yaitu indeks vegetasi untuk menonjolkan klorofil-a, yang dirumuskan sebagai berikut (Rikimaru et al., 2002). 
Apabila (IMD-M) _<_ O, maka AVI : 0; dan
Apabila (IMD-M) > 0, maka 
Supaya rumus ini bekerja dengan baik maka diperlukan syarat-syarat, yaitu bahwa saluran Inframerah dekat (IMD) dan merah (M) harus dinormalisasikan terlebih dahulu julat datanya. Saluran-saluran yang terlibat di sini mengacu ke saluran-saluran spektral pada Landsat TM dan ETM+.
2. lndeks Tanah Terbuka (Bl) 
Bare Soil Index (BI) dikembangkan dalam model FCD berdasarkan asumsi bahwa nilai indeks vegetasi kurang dapat dipercaya pada kondisi tutupan vegetasi kurang dari 50%. Untuk meningkatkan reliabilitas estimasi status vegetasi maka FCD menambahkan BI yang dibangun dengan melibatkan informasi spektral inframerah tengah. Asumsi ini menurut Rikimaru et al. (2002) didasari oleh hubungan timbal balik yang kuat antara keberadaan tanah dan vegetasi (semakin dominan tanah, semakin sedikit vegetasi, begitu sebaliknya). Dengan demikian, kombinasi indeks vegetasi yang disatukan dalam analisis beserta indeks tanah akan menempatkan penilaian status atau kondisi vegetasi hutan dalam suatu kontinuum, dengan julat dari vegetasi rapat ke tanah terbuka.
Rumus BI adalah sebagai berikut:
di mana 0 <BI<200
Pada rumus tersebut, IMTg adalah saluran inframerah tengah (sama dengan saluran 5 Landsat ETM+), M adalah saluran merah (saluran 3 pada ‘Landsat ETM+), dan B adalah saluran biru (sama dengan saluran 1 pada Landsat ETM+). Rikimaru et al. (2002) menambahkan bahwa julat ini  kemudian harus dikonversi ke julat 8 bit (0-255).
3. Indeks Bayangan (SI) 
Salah satu keunggulan dari model FCD adalah kemampuan untuk mengakomodasi aspek kerapatan vertikal dan komposisi struktural yang terbentuk oleh strata vegetasi yang berbeda. Indeks bayangan (Shadow Index, SI) memanfaatkan (a) informasi spektral pada bayangan hutan itu sendiri, dan (b) informasi termal yang dipengaruhi oleh kehadiran bayangan. Indeks bayangan dirumuskan berdasarkan ekstraksi radiansi spektral yang rendah dari saluran-saluran spektral tampak. Rumus Shadow Index SI adalah sebagai berikut. 
4. Indeks Termal (T l) 
Rumus Indeks Termal (Thermal Index, TI) dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa ada dua hal yang menyebabkan area di dalam hutan menjadi relatif lebih sejuk. Dua penyebab ini adalah (a) kanopi menahan masuknya energi matahari menembus sampai ke bawah liputan pepohonan, dan (b) dedaunan melakukan evapotranspirasi sehingga temperatur menjadi lebih rendah. Model TI dikembangkan dengan memanfaatkan saluran inframerah termal (saluran 6) pada citra Landsat TM dan Landsat ETM+. 
7.7.2 Komponen Turunan Lanjut untuk Membangun FCD
Berdasarkan Indeks Vegetasi, Indeks Tanah, dan Indeks Bayangan, kemudian diturunkan komponen penentu FCD, yaitu (a) Kerapatan Vegetasi ( Vegetation Density, VD), (b) Deteksi tanah hitam ( black Soil detection) yang digunakan untuk menentukan AdVanced Shadow Index (ASI) dan Scaled Shadow lndex (SSI). VD diturunkan melalui perpaduan antara AVI dengan SI. Cara perpaduannya adalah dengan menerapkan principal component analysis (PCA). Pada dasarnya hubungan antara AVI dengan SI adalah negatif dan keduanya cenderung berkorelasi cukup kuat. Berdasarkan analisis PCA ini kemudian ditentukan titik 0% dan titik 100% untuk menghasilkan citra baru yang disebut dengan VD.
Sementara itu, black Soil detection diperoleh dengan memadukan SI dan TI. Tanah-tanah hitam merupakan indikator proses tebang-bakar pada mekanisme pembersihan lahan di hutan-hutan tropis dan merupakan salah satu sasaran dari pemetaan dengan FCD. Tanah-tanah berwarna hitam ini berbeda dari bayangan, dalam hal temperaturnya yang relatif tinggi karena menyerap panas. Secara teoretis, area bayangan selalu bertemperatur rendah, tetapi area bayangan kadang kala sulit dibedakan dari tanah-tanah hitam seperti tersebut di atas. Apabila terdapat ketidaksesuaian antara SI dan TI (satu rendah dan satunya lagi tinggi) maka tanah hitam dapat dideteksi.
ScaIed Shadow Index (SSI) diperoleh berdasarkan SI yang diproses terlebih dahulu menjadi Advanced Sliadow Index (ASI). Rikimaru et al. (2002) menyatakan bahwa SSI dikembangkan supaya Sl bisa diintegrasikan dengan VI. Wilayah-wilayah dengan nilai SSI = 0 adalah wilayah yang juga nilai bayangannya (SI) = 0. Wilayah di mana SSI = 100 adalah area dengan tutupan bayangan 100%. Iulat nilai ini kemudian dijadikan dasar untuk menskalakan kembali nilai SI menjadi SSI yang dinormalisasi melalui proses transformasi linier, di mana julat asli SI diubah menjadi 0-100, untuk mewakili persentase tutupan 0 -100%.
7.7.3 Integrasi Seluruh Komponen untuk Membangun FCD
Sekali seluruh komponen penyusun telah terbentuk maka FCD pun dapat diturunkan dengan rumus berikut. 
Proses keseluruhan untuk membangun FCD bisa dilihat pada Gambar 7.11.
7.8 INDEKS-INDEKS UNTUK TANAH, BATUAN, DAN MATERI KEDAP AIR
Logika pengembangan berbagai transformasi spektral yang telah dijelaskan sebelumnya juga berlaku untuk objek dan fenomena selain vegetasi. Dasarnya adalah pertimbangan tentang saluran-salman spektral yang peka terhadap objek bukan vegetasi, misalnya tanah, batuan, dan penutup lahan artiiisial seperti aspal dan beton bangunan. Untuk fenomena tanah dan batuan, saluran-saluran yang dipandang peka dalam merepresentasikan kandungan mineral dan lempung adalah biru, merah, inframerah dekat, dan inframerah tengah. Karena mteri kedan air seperti bahan bangunan juga berasal dari bahan tanah dan batuan maka penggunaan transformasi yang menonjolkan kandungan mineral tertentu (oksida besi) atau mineral lempung juga kadang-kadang digunakan untuk menonjolkan menjajikan metode ini secara ringkas.
Gambar 7.11 Gambaran grafis prosedur penurunan informasi kerapatan vegetasi melalui model FCD ( Sumber: Rikimaru et al ., 2002)
Gambar 7.12 Hasil transformasi spektral citra Landsat ETM+ wilayah Yogyakarta, Gunung Kidul, dengan menggunakan indeks mineral lempung (kiri) dan indeks oksida besi (kanan). Area di bagian kiri atas dua merupakan dataran fuviovolkan Merapi dan didominasi oleh bangunan dan sawah. sementara area perbukitan yang melintang diagonal didominasi material gunung api yang sudah lapuk, sedangkan area kanan bawah merupakan cekungan Wonosari.
7.8.1 Oksida Besi
Oksida besi dan besi hidroksida merupakan mineral-mineral yang paling umum dijumpai dalam lingkungan alami (Liu dan Mason, 2009). Kenampakannya secara visual untuk mata kita adalah tanah atau batuan yang terlihat merah sampai merah kecokelatan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas pantulan yang kuat di spektrum merah dan serapan yang juga kuat di spektrum biru. Tanah-tanah yang berwarna merah juga diasumsikan  mengandung mineral-mineral yang merupakan senyawa besi.
Dengan memperhatikan kecenderungan yang berkebalikan antara pantulan kuat di spektrum merah dan serapan kuat di spektrum biru maka keberadaan mineral oksida besi bisa ditonjolkan dengan menggunakan ratio index sebagai berikut.
Mengingat bahwa baik saluran merah maupun saluran biru juga mengalami gangguan berupa kontribusi hamburan oleh atmosfer, di mana nilai minimum yang harusnya nol menjadi bernilai >0, maka rumus untuk Indeks Oksida Besi menjadi (Liu dan Mason, 2009):
7.8.2 Mineral Lempung 
Mineral-mineral lempung (Clay minerals) dicirikan oleh adanya alterasi hidrotermal dalam batuan, dan banyak dimanfaatkan untuk eksplorasi mineral dengan menggunakan penginderaan jauh. Mineral-mineral lempung punya karakteristik yang berbeda dengan batuan yang belum melapuk dalam hal serapan kuat di wilayah spektral sekitar 2,2 um, namun di sisi lain memberikan pantulan kuat di wilayah spektral sekitar 1,6 um. Karena wilayah spektral 2,2 um juga merupakan wilayah saluran 7 Landsat ETM+ (inframerah jauh), sementara wilayah spektral 1,6 merupakan Wilayah saluran 5 Landsat ETM+, maka rumus untuk Indeks Mineral Lempung dapat disajikan sebagai berikut (ERDAS Field Guide, 2003), dan contohnya disajikan pada Gambar 7.12. 
Liu dan Mason (2009) menegaskan bahwa formula ini secara efektif dapat diterapkan pada citra Landsat TM atau ETM+ yang mempunyai spesifikasi panjang gelombang yang hampir berimpit dengan spesifikasi pantulan dan serapan oleh mineral lempung tersebut. Meskipun demikan, citra ASTER yang mempunyai 5 saluran inframerah tengah dan jauh (SWIR) kemungkinan dapat memberikan pembedaan yang lebih spesifik.
7.8.3 Indeks Kekotaan dan Indeks Area Terbangun 
Pembahasan terdahulu tentang indeks-indeks hasil transformasi spektral condong kepada penonjolan aspek materi alami/semialami. Aplikasi berbagai indeks tersebut akan lebih ditekankan pada bidang kehutanan, pertanian, tanah, dan juga geologi. Untuk bidang lain seperti halnya penggunaan lahan kekotaan, sejauh ini tidak banyak model yang dikembangkan, meskipun bukan berarti tidak ada.
Fenomena kekotaan biasanya didominasi oleh kehadiran bangunan. Secara spektral, bangunan sebenarnya tidak selalu tampak berbeda dibandingkan lingkungan di sekitarnya, khususnya apabila di sekitarnya terdapat tanah atau lahan terbuka. Kenampakan bangunan pada citra sebenarnya didominasi oleh bagian atapnya. Di negara-negara maju beriklim sedang, atap bangunan kota terutama terbuat dari bahan metal (seng atau seng-aluminium), bahan asbestos dan fibercement (meskipun di banyak negara maju penggunaan asbestos cenderung dihindari), serta bahan beton (concrete). Objek lain yang juga mendominasi fenomena urban adalah aspal. Pembedaan objek-objek tersebut dari lingkungan sekitarnya (terutama tanah terbuka, vegetasi, dan air) bisa dilakukan melalui melakukan pembandingan spektral dengan objek-objek lain pada kurva pantulan spektral.
Di beberapa negara berkembang, bangunan rumah tidak hanya mengandalkan bahan seperti yang telah disebutkan pada paragraf terdahulu. Pada 1970-an hingga 1990-an, penggunaan bahan kayu (khususnya kayu ulin) untuk atap sangat populer di Indonesia, meskipun ada kecenderungan saat ini untuk mengganti bahan semacam itu, karena sangat rentan terhadap kebakaran. Di banyak tempat di Iawa, atap genteng dengan bahan tanah liat (lempung) seperti halnya bata merah juga masih sangat banyak dijumpai. Varian dari bahan atap semacam ini adalah genteng keramik yang berbahan dasar tanah liat juga. Di samping itu, ada pula bahan atap berupa plastik dan bahan-bahan sintetis lain. Pengenalan atap genteng tanah liat secara spektral kadang kala terkendala oleh kemiripan dengan respons spektral tanah di sekitarnya, khususnya apabila karakteristik tanah yang ada menyerupai bahan atap genteng tersebut.
Lepas dari beberapa kesamaan antara atap dengan materi alami yang ada di sekitarnya, penggunaan jumlah saluran yang banyak akan sangat membantu pembedaan objek atap (yang berarti lahan terbangun) dari objek lainnya. Model transformasi citra yang efektif untuk pembedaan materi bangunan dengan materi alami biasanya memanfaatkan saluran-saluran inframerah dekat, tengah, dan jauh, mengingat wilayah spektral ini dikenal peka tehadap perbedaan antara bahan bangunan dan bahan alami seperti air, vegetasi, dan tanah terbuka.
Kawamura (1999) menggunakan indeks kekotaan (urban index, UI) berdasarkan saluran-saluran inframerah dekat dan saluran inframerah tengah ke=ll (atau kadang kala disebut inframerah jauh): 
Sementara itu, Zha et al. (2003) menggunakan analogi NDVI untuk mengembangkan indeks area terbangun yang disebut dengan normalised difference built-up index (NDBI). NDBI digunakan untuk mengkalkulasi Built-up Area. Kedua formula tersebut adalah sebagai berikut:
Model-model semacam ini, karena dikembangkan diwilayah negara maju dan atau wilayah dengan kebiasaan menggunakan bahan bangunan yang berbeda dengan di Indonesia, memerlukan validasi dan uji akurasi. Sebagai contoh, tersaji pada Gambar 7.13, citra hasil transformasi UI, NDBI, NDVI, dan Built-up Area untuk wilayah Semarang. Citra UI kurang tajam dalam menyajikan perbedaan antara kenampakan kekotaan dan bukankekotaan. Citra NDBI dengan bagus menyajikan perbedaan ini, meskipun kenampakan perairan tampak sedikit cerah. Citra NDVI hampir sama tajamnya dengan citra NDBI, namun dengan kecenderungan yang terbalik. Sementara itu, citra Built-up Area kurang tajam dibandingkan NDBI dan justru menunjukkan kenampakan perairan yang cukup cerah sehingga bisa dikacaukan dengan bangunan kekotaan. Aplikasi untuk wilayah yang tidak menunjukkan adanya tubuh air akan memberikan hasil yang lebih masuk akal. 
Gambar 7.13 Hasil transformasi spektral wilayah Kota Semarang dan sekitarnya dengan Urban Index  (kiri atas), Normalised Difference Built-up Index (kanan atas), Normalised Difference Vegetation Index (kiri bawah), dan Built-up Area (= NDBl-NDVl, kanan bawah). Perhatikan variasi kenampakan wilayah kekotaan (penuh bangunan) dan wilayah pertanian (dominan vegetasi), serta tubuh air (laut dan tambak) yang muncul sebagai hasil transformai









 DAFTAR PUSTAKA
 
Danoedoro,Projo. Penagantar Penginderaan Jauh
Digital .-Ed.1.-Yogyakarta: ANDI.2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar