BAB
VI
PENAJAMAN
CITRA DAN PEMFILTERAN SPASIAL
Telah
diuraikan pada bab 2 bahwa citra digital merupakan konfigurasi piksel yang
pervariasi nilai spektralnya dan membentuk suatu penampakan kuasi-kontinun.tiap
kenampakan objek berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan interval nilai
piksel yang merepresentasikannya dan juga karena berbeda kesan pola spasial
yang dihasilkannya.dengan demikian,perubahan yang terjadi pada nilai piksel
ataupun pada kesan pola spasial akan menghasilkan perubahan penampakan citra
tersebut.inilah yang dijadikan prinsip dalam penajaman citra secara digital:
bagaimana mengubah nilai piksel secara sistematis sehingga menghasilkan efek
kenampakan citra yang lebih eksfresif sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Penajaman
citra (image enhancemente) meliputi
semua operasi yang menghasilkan citra ‘baru’ dengan kenampakan fisual dan
karakteristik spektral yang berbeda. Disamping penajaman citra,adalagi jenis
operasi yang disebut pemfilteran (filterin).
Pada beberapa pustaka (misalnya Niblack,1986; dan Mulder dan Kostwinder,1987)
kedua teknik ini tidak dikelompokan dalam satu kelompok koperasi yang disebut
penajaman citra. Pada umumnya para penulis yang mempunyai latar belakang bukan
ilmu kebumian cenderung mengelompokan memfilteran sebagai teknik terpisah dari
teknik-teknik penajaman karena efek yang dihasilkan dan filosofinya pun berbeda
dari teknik-teknik penajaman yang lain. Hal ini memang secara logis dapat
diterima. Namun ada pula beberapa penulis yang menyatukan teknik penajaman dan
pemfilteran sebagai satu kelompok operasi penajaman. Pada buku ini,keduanya
dibahas secara terpisah.namun diletakan dalam satu bab,demi alasan praktis.
6.1
PENAJAMAN KONTRAS
Penajaman
kontras (contrast enhancement)
diterapkan untuk memperoleh kesan kontras yang lebih tinggi. Semua dilakukan
dengan mentransformasi seluruh nilai kecerahan dan memberikan hasil berupa
citra dengan nilai maksimum baru yang lebih tinggi dari nilai maksimum awal,dan
nilai minimum baru yang (pada umumnya)lebih rendah dari nilai minimum awal.secara
visual,hasil ini berupa citra baru yang
variasi hitam putihnya lebih menonjol sehingga tampak lebih tajam dan
memudahkan proses interprestasi. Algoritma penajaman kontras ini dapat
dikelompokan menjadi dua,yaitu perentanggan kontras (contrast stretching) dan ekualisasi histogram (histogram equalization). Masing-masing
alogritma berikut ini.
6.1.1 PERENTANGAN KONTRAS
Kontras
citra dapat dimanipulasi dengan merentang nilai kecerahan pikselnya perentangan
efektif dapat dilakukan bentuk histigramnya. Citra asli,yang biasanya mempunyai
julat nilai lebih sempit dari 0-255,perlu direntang sehingga kualitas citranya
menjadi lebih baik.hasil perentangan ini adalah citra baru,yang bila
digambarkan histogramnya berupa kurva yang lebih lebar (lihat gambar 6.1)
Terdapat
beberapa cara untuk merentang kontras citra. Cara paling sederhasa ialah dengan
mengalihkan citra tersebut,misalnya dengan factor pengali p. citra X dengan julat nilai kecerahan 0-21, bila dikalikan dengan
factor pengali p = 3 menghasilkan citra
baru X’ dengan julat 0,63. Pada pengaturan warna hitam putih,citra baru ini
akan tanpak lebih kontras karena julatnya semakin lebar. Nilai maksimumnya
lama,yaitu 21,yang tanpak gelap ditransformasi menjadi nilai maksimum baru,63,
yang tanpak jauh lebih cerah; sedangkan nilai minimum dijaga tetap ( gambar
6.2.a)
cara
lain adalah suatu pengondisian. Perentagan dilakukan pada julat di antara nilai
maksimum dan nilai minimum. Misalnya X {0..21} akan direntang menjadi citra X’
{0..255}, tetapi mengambil nilai 3 sebagai nilai masukan minimum dan 19 sebagai
nilai masukan maksimum. Dalam hal ini , nilai asli pada citra X {0..21} yang
<=3 akan menjadi 0 pada citra baru,dan nilai asli yang >=19 akan menjadi
255 (gambar 6.2.b). Transformasinya adalah sebagai berikut.
BVoutput = (BVinput
– BVmin)/(BVmaks – BVmin)*255 ………………. (6.1)
BVoutput
adalah nilai kecerahan baru hasil transformasi, BVinput adalah
sembarang nilai kecerahan piksel pada citra yang menjadi masukan, BVmin
adalah nilai kecerahan piksel minimum pada citra asli, dan BV maks
adalah nilai kecerahan maksimum piksel pada citra asli. Nilain koefisien 255 di
maksudkan untuk memperoleh citra baru dengan julat 0-255 (kecerahan maksimum).
Apabila menghendaki nilai maksimum piksel hasil transformasi sebesar 200 maka
nilai 255 maka tersebut dapat diganti dengan 200. Pada persamaan ini jika BVoutput
teryata negatif maka nilai baru akan diatur menjadi sama dengan 0. Begitu pula
apabila BVoutput >255 maka nilai baru akan diatur menjadi 255.
Operasi
perentangan kontras ini dapat dibalik sehingga menghasilkan citra baru yang
lebih sempit julatnya dan disebut sebagai pemampatan kontras (contrast compression).baik perentangan
maupun pemampatan kontras mengubah nilai kecerahan piksel satu demi satu, tanpa
melibatkan nilai piksel yang berdekatan (piksel tetangga). Oleh karena itu,
operasi ini disebut sebagai operasi global, yang secara konseptual berbeda
dengan operasi fokal (ketetanggaan) melalui teknik pemfilteran. Pada kebanyakan
perangkat lunak pengolah citra, termasuk pengolah citra untuk keperluan
publishing, biasanya citra ditampilkan sadah dalam keadaan terentang dalam
menggunakan nilai default 1% atau 2% Nilai default
ini pun biasanya dapat diubah sesuai dengan kebutuhan analis.
Gambar
6.1 perubahan histogram pada perentangan kontras, seperti tersaji pada salah
satu menu perangkat lunak ENVI
Gambar
6.2 perentangan kontras secara linier dengan menggunakan masukan nilai minimum
dan maksimum asli maupun nilai piksel pada posisi persentase kumulatif tertentu
( Sumber: Jensen, 2005 dengan perubahan )
Gambar 6.3 Atas Citra asli landsat Thematic Mapper
Wilayah Semarang saluran 3 (merah); bawah : citra dipertajam malalui teknik
perentangan kontras secara linier dengan cut-off
dan saturation 1%
6.1.2 Ekualisasi Histogram
Teknik
penajaman kontras yang telah diuraikan
di atas adalah suatu teknik penajaman kontras
linier. Selain linear stretching
ini, ada lagi teknik penajaman dengan cara ekualisasi
histogram. Secara garis besar, algoritma akualisasi histogram ini dapat
dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, dilakukan penghitungan untuk menurunkan
histogram citra yang akan dipertajam. Kedua, si operator kemudian menentukan
jumlah kelas kecerahan yang baru (misalnya 32). Data BV seluruh citra nantiya
akan didistribusikan kembali ke masing- masing kelas tersebut. Ketiga, program
akan menghitung dan menandai piksel demi piksel , untuk kemudian mengelompokkan
mereka_masing-masing dalam jumlah yang kurang lebih sama ke tiap kelas kecerahan yang tersedia.
Setelah itu , dengan sendirinya citra baru ( atau tampilan pada layar ) segerah
dihasilkan .
Ekualisasi
histogram menghasilkan citra dengan kontras maksimum bila pengambilan julat
nilai kecerahannya tepat_ seperti halnya pada perentangan kontras linier.
Pengambilan ini dikatakan tepat bila julat nilai tersebut mewakili populasi
terbanyak dalam histogram (misalnya pada 'bukit' kurva utamanya).
Tabel
6.1 statistik untuk citra hipotetik 64 kolom x 64 baris (4096 piksel)
Dengan
julat BV 0-7 (8 bit)
Nilai Kecerahan
|
Frekuensi
|
0
|
790
|
1
|
1023
|
2
|
850
|
3
|
656
|
4
|
329
|
5
|
245
|
6
|
122
|
7
|
81
|
Berikut
ini uraian singkat yang diambil dari Jensen (2005,yang juga merupakanmodifikasi
atas contoh yang dibuat oleh Gonzalez dan Wintz,1977). Misalnya terdapat suatu
citra hipotetik yang terdiri atas 64 kolom x
64 baris (total = 4094 piksel ) dengan julat nilai 0-7 (BV r = 8).
Histogram dan distribusi frekuensinya dapat dilihat pada Gambar 6.4a dan tabel 6.1. Disana terlihat
bahwa piksel dengan nilai 0 berjumlah 790 (fBV0 = 790),kemudian fBV1
= 1023,dan seterusnya. Probabilitas kemunculan tiap nilai kecerahan PBVi pun dapat dihitun dengan
cara membagi tiap frekuensi BVi dengan jumlah piksel total (n=4096).
Dapat dilihat dari Tabel 6.1
Setelah itu, dibuat histogram yang menyatakan
distribusi frekuensi nisbah nilai kecerahan BVi terhadap BV maksimum
(dari 0, 1/7, 2/7, 3/7 ..., 1) pada Gambar 6.4b. Histogram ii kemudian
ditransformasi menjadi histogam komulatif pada Gambar 6.4c.Berdasarkan
histogram komulatif ini,fungsi transformasi probabilitas Si dibuat, yang
menyatakan nilai komulatif probabilitas tiap nisbah (rasio) kecerahan (lihat
Gambar 6.4d). Furmulasi adalah si = pi,
i = 0,1,2,3,....
Gambar 6.4 proses penghitungan untuk
ekualisasi histogram melalui model histogram (diambil dari Jensen, 2005, dengan
perubahan)
Tahap terakhir adalah pengelompokan kembali
nilai kecerahan berdasarkan nilai tertransformasi si. Contoh ini dimulai dari
nilai so = 0.19, yang lebih dekat ke
nilai penisbahan 0.14 (hasil transformasi BV1) sehingga seluruh
piksel bernilai 0 ditransformasi bernilai 1. Beralih ke nilai s1 = p0 + p1
= 0.19 + 0.25 = 0.44. Nilai ini lebih dekat ke nilai penisbahan 3/7 (=0.43),
yang dimiliki oleh BV3 sehingga seluruh piksel bernilai 1
ditransformasi menjadi bernilai 3. Begitu seterusnya hingga diperoleh nilai
baru 5 untuk piksel asli bernilai 2, dan nilai baru 6 untuk nilai asli 3 dan 4,
serta nilai baru 7 untuk nilai asli 5, 6 dan 7. Nyata bahwa nilai kecerahan
asli 0, 2, dan 4 tak dipresentasikan lagi. Hasilnya adalah citra baru yang
kekontrasannya lebih optimal.
Gambar 6.5 Atas: citra direntang
kekontrasannya dengan cut off dan saturation
3%. Bawah: citra yang dibandingkan dengan hasil penajaman melalui teknik
ekualisasi histogram. Terlihat bahwa perentangan kontras memberikan kenampakan
kontras yang tajam antarpiksel;
sedangkan ekualisasi histogram memberikan ketajaman yang Iebih pada kenampakan
antarblok objek. Bandingkan dengan kenampakan pada Gambar 6.3
6.2 APLIKASI PENAJAMAN KONTRAS DALAM STUDI
PENGINDERAAN JAUH
Penajaman kontras merupakan teknik manipulasi
dasar dalam studi pengindraan jauh. Hampir semua operasi ekstraksi informasi
membutuhkan bantuan teknik ini, sejauh hasil proses tersebut digunakan sebagai
materi utama pemilihan sampel (misalnya dalam penyusunan komposit yang baik
untuk klasifikasi multispektral), delineasi satuan-satuan pemetaan pada hasil
cetak (hard copy), dan sebagainya. Penajaman kontras atas citra saluran-saluran
tidak pernah direkomendasikan, apabila saluran-saluran tersebut akan digunakan
sebagai masukan dalam proses klasifikasi multispektral, penisbahan saluran (band ratioing), transformasi indeks
vegetasi, ataupun transformasi lain seperti halnya Principal Component Analysis (PCA) ataupun transformasi Tasseled-cap dari Kauth dan Thomas
(lihat Bab 7).
Dalam penajaman citra yang membutuhkan
informasi mengenai variasi penutup/penggunaan lahan pada suatu Citra, teknik
perentangan kontras lebih disukai karena mampu menghasilkan kenampakan gradual
nilai-nilai piksel yang berdekatan. Apabila teknik ini diterapkan pada saluran'
saluran tampak (X81, X82 dan pankromatik SPOT-3; TMl, TM2, TM3, M384, dan MSSS
Landsat) maka akan jelas terlihat variasi jenis penutup lahan termasuk di
dalamnya perbedaan kerapatan vegetasi pada lahan-lahan penanian. Begitu pula
halnya dengan kenampakan tubuh air dengan gradasi kekeruhannya, yang
mengindikasikan besarnya muatan tarsuspensi
Apabila kenampakan blok antarobjek lebih
dibutuhkan, 'misalnya pengenalan zona-zona permukiman dengan pemisah berupa jaringan
jalan yang ingin dipertegas, maka teknik ekualisasi
histogram pada umumnya lebih ekspresif. Penggunaan teknik ini untuk
mempertegas perbedaan antara tubuh air dan vegetasi pada saluran inframerah
dekat (X53 SPOT dan TM4 Landsat) lebih dianjurkan. Lebih dari itu,
kadang-kadang diperlukan juga suatu kombinasi teknik penajaman kontras dengan
teknik pemfilteran (Iihat butir 6.3) karena citra hasil pemfilteran pada
umumnya kurang mampu menyajikan kekontrasan secara tepat.
Perlu ditegaskan di sini bahwa teknik
penajaman kontras tetap tidak mampu menekan pengaruh/gangguan atmosfer,
khususnya apabila gangguan tersebut terjadi secara tidak merata. Liputan Citra
yang secara parsial terganggu oleh kabut tipis akan lebih efektif dikoreksi
dengan model transfer radiasi atau melalui kalibrasi garis empiris, seperti
yang telah diuraikan pada Bab 5. Penajaman kontras terhadap citra semacam ini
justru akan mempertajam kenampakan gangguan atmosfernya.
6.3 PENAJAMAN SPASIAL MELALUI FUSI CITRA
MULTIRESOLUSI
Dalam seperempat abad terakhir banyak sistem
pencitraan telah menghasilkan citra multispektral dan citra pankromatik. Secara
umum dapat dikatakan bahwa suatu sistem sensor yang mampu menghasilkan citra
Inultispektral dengan resolusi spasial tertentu akan memberikan citra Pankromatik
dengan resolusi spasial yang lebih tinggi. Hal ini wajar, mengingat dengan
menggunakan lebar spectrum yang lebih besar, sensor dan detector dapat
mengumpulkan energy dengan nisbah sinyal terhadap derau (signal-to-noise ratio)
yang lebih besar untuk luasan area yang lebih sempit. Oleh karena itu, apabila
suatu sensor dengan saluran spectral berjulat spectrum selatif sempit (misalnya
saluran hijau sekitar 0,52 -0,58 µm)
memerlukan area seluas 20 x 20 m², maka dengan saluran spectral pankrimatik
(0,51 – 0,73 µm) hanya memerlukan sarea yang lebih sempit, misalnya seluas 10 x
10 m² atau kurang untuk mengumpulkan energy yang kemudian di konversi ke nilai
kecerahan piksel.
SPOT
1-3 merupakan salah stu system satelit pertama yang mampu menghasilkan citra
multispectral (resolusi spasial 20 m) dan pankromatik (10 m) pada resolusi
spasial menengah, mendekati resolusi tinggi. Landsat ETM+ juga kemudian
memproduksi citra multispectral (30 m) dan pankromatik (15 m). SPOT -5 ,
Ikonos, Quickbird, Orbview, GeoEye merupakan contoh-contoh satelit yang
menghasilkan citra multispectral dan pankromatik yang jauh lebih tinggi, yaitu
2,5 hingga 0,5 m.
Ide
penggabungan citra multispectral dan pankromatik kemudian muncul yang kemudian
di sebut dengan pan-sharpened colour composite. Alasannya, meskipun mempunyai
resolusi spasial lebih tinggi, citra pankromatik pada umumnya kurang menarik
untuk di manfaatkan secara mandiri karena tidak ada unsur warna dalam
visualisasinya. Oleh karena itu, suatu metode yang dapat mengombinasikan
keunggulan citra multispectral dalam aspek warna (karena bias di visualisasikan
dalam merah,hiaju dan biru ) dengan keunggulan citra pankromatik dalam aspek
kerincian spasialnya karena resolusi spasial yang lebih tinggi di kembangkan.
Penggabungan ini menhasilkan citra multispectral yang tetap berwarna warni dan
di pertajam secara spasial oleh citra pankromatik.
Ada
beberapa macam metode penggabungan citra multispectral dan pankromatik, namun
semuanya sebenarnya bertumpuh pada metode berbasis aljabar citra, yang
mensyaratkan ko-registrasi spasial pada semua citra masukan. Pada awalnya
metode penggabungan ini anya di terapkan pada citra multispectral yang hanya
terdiri dari tiga saluran, untuk di padukan dengan satu citra pankromatik
(Short, 1982)
6.3.1 Metode Perkalian
(Multiplikatif)
Metode
perkalian (multiplikatif) merupakan metode paling sederhana. Melalui metode ini
setiap citra saluran multispectral (masing-masing yang di beri warna
merah,hijau dan biru) di kalikan dengan citra saluran pankromatik. Perkalian
ini melibatkan proses aljabar peta yang mensyaratkan ko-registrasi ,dimana
citra multispectral secara otomatis di resample sehingga menghasilkan citra
baru dengan ukuran piksel (bukan resolusi spasial) yang lebih halus, setara
dengan citra pankromatik. Hasilnya adalah citra baru yang merupakan kombinasi
masing-masing saluran multispectral dengan pankromatik, yang julat nilai
pikselnya di skalakan kembali ke 0-255. Penyusunan citra kimposit di lakukan
dengan menggunakan masukan setiap saluran sektral baru, yang telah terkombinasi
dengan citra pankromatik.
Kelemahan
utama metode multiplikatif adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan aspek
radiometri citra multispectral. Meskipun demikian, banyak kasus dalam
penggunaan metode ini masih mampu menonjolkan kenanpakan yang terkait dengan
fenomena kekotaan, karena addanya peningkatan intensitas sebagai hasil dari
operasi iini.
6.3.2 Metode Transformasi Brovey
Metode
transformasi brovey merupakan metode yang paling popular untuk memadukan dua
macam citra yang berbeda resolusi spasial. Transformasi brovey mengubah nilai
spectral asli pada setiap saluran multispectral, katakanlah berkode saluran
merah(M), hijau (H) dan biru (B), menjadisaluran-saluran baru (MP, HP, BP) yang
masing-masing telah di rinci secara spasial oleh citra pankromatik (P) dan di
normalisasi nilai kecerahannya dengan mempertimbangkan nilai-niai pada saluran
lainnya. Rumusnya adalah sebagai berikut 9Short,1982;Vrabel,1996).
Malalui
metode ini secara otomatis ketiga saluran spectral M,H dan B akan di resample
ke ukuran piksel saluran P, baik menggunakan nearset neighbor, bi-linear
ataupun cubic convolution.
6.3.3 Metode Gram-Schmidt
Metode
gram-schmidt di gunakan oleh perangkat lunak ENVI, tetapi juga di gunakan oleh
perangkat lunak IDRISI dengan nama lain yaitu transformasi regresi local (local
regression transformation). Liu dan Mason (2009) menamakannya modulasi
intensitas berbasis filter penghalusan (smoothing filter based intensity
modulation, SFIM), serta menjadi dasar bagi penjelasan berikut ini. Dengan
demikian, istila Gram-Schmidt, transformasi regresi local dan SFIM sebenarnya
mengacu ke metode yang sama, yang bertumpu pada hasil penelitian Price (1999)
Metode
SFIM di kembangkan berdasarkann alas an bahwa fusi citra multi resolusi
misalnya transformasi HIS (Hue-intensity-saturation) dan Brovey dapat
menyebabkan distorsi warna apabila julat spectral dari citra pengganti
intensitas (atau modulasi) yang biasanya di wakili olh citra pankromatik
beresolusi tinggi berbeda dari ketiga saluran multispectral yang akan di
perbaiki tampilan spasialnya. Masalah semacam ini akan semakin menonjol ketika
kedua macam citra tidak di peroleh pada tanggal yang sama. Tampilan yang sangat
mengganggu ini biasanya muncul pada wilayah bervegtasi karena adanya perbedaan
masa tanam di wilayah pertanian.
Secara
garis besar penajaman spectral SFIM melibatkan empat langkah berikut. Pertama,
melakukan simulasi saluran pankromatik resolusi tinggi berdasarkan saluran
multispectral dengan resolusi spasial lebih rendah. kedua, transformasi
Gram-Schmidt pada saluran pankromatik hasil simulasi dan saluran multispektal,
dimana saluran pankromatik hasil simulasi di perlakukan sebagai saluran
pertama. Ketiga saluran pankromatik resolusi tinggi yang asli kemudian di gantikan
oleh saluran Gram-Schmidt hasil simulasi. Keempat , transformasi Gram-Schmidt
di balik untuk di terapkan, membentuk saluran-saluran multispectral yang di
pertajam dengan saluran pankromatik.
Model SFIM atau Gram-Schmidt di landasi oleh model
radiasi matahari (solar radiation model). Mengacu ke penjelasan Liu dan
Mason(2009), nilai piksel suatu citra optic BV(ƛ) yang di ambil di siang hari
di tentukan oleh dua factor, yaitu radiasi sinar matahari yang menge, BV ai
permukaan bumi,yaitu irradiansi E(ƛ),dan pantulan (reflektansi) dari permukaan
bumiƥ (ƛ). jadi BV(ƛ) =ƥ (ƛ) E(ƛ.
Apabila BV (ƛ) rendah= ƥ (ƛ)rendah E(ƛ) mewakili
nilai piksel beresolusi lebih rendah, BV (ƴ)tinggi=ƥ((ƛ))tinggi mewakili nilai
piksel citra yang beresolusi lebih tinggi., maka ko-registrasi (koreksi
geometri) citra resolusi rendah mengacu ke citra resolusi tinggi akan
menyebabkan setiap piksel pada citra resolusi rendah harus di perbesar sekian
kali, sesuai dengan rasio antar kedua macam resolusi. Misalnya,resolusi rendah
adalah 20 m dan resolusi tinggi adalah 10 m maka rasio keduanya adalah 20:10 =2
(artinya setiap satu piksel ressolusi rendah memuat 2x2=4 piksel resolusi
tinggi).
Dalam model SFIM di perlukan simulasi citra resolusi
tinggi dengan nilai piksel BV(ƴ)rerata yang menggunakan nilai rerata pada ke
empat nilai piksel asli BV(ƛ)tinggi. Satu nilai baru yang menggantikan ke empat
nilai piksel resolusi rendah ini perlu di definisikan dengan menggunakan piksel
rerata local yang memperhatikan ke empat piksel resolusi tinggi yang menyusun
satu piksel resolusi rendah.
Nilai piksel pada citra SFIM di definisikan sebagai:
Dari perspektif model radiasi matahari, irradiansi
yang mengenai permukaan bumi di control oleh topogrfi. Apabila dua macam citra
di kuantifikasikan ke julat nilai piksel yang sama maka bias di katakana bahwa
pada satu resolusi spasial E(ƛ)=E(ƴ), karena keduanya berfariasi sebagai efek
dari control topografi yang serupa. Selanjutnya ƥ (ƛ)rendah = ƥ(ƴ)tinggi
apabila tidak ada variasi spectral signifikan pada piksel-piksel penyusun BV
(ƴ)rerata. Dengan demikian dalam persamaan
E(ƛ)rendah dan E(ƴ)rendah akan saling meniadakan,
sementara ƥ(ƛ)rendah dan ƥ(ƴ)tinggi juga saling meniadakan. E(ƴ) tinggi dapat
di gantikan oleh E(ƛ). Akhirnya, rumus di atas bias di ganti oleh rumus yang
lebih sederhana sebagai berikut :
Dimana citra resolusi rendah adalah saluran tertentu
beresolusi lebih rendah yang di registrasikan ke saluran dengan resolusi
spasial lebih tinggi (Citra resolusi tinggi). Citra rerata local adalah salura
baru yang di peroleh dengan cara menerapkan pemfilteran rerata (smoothing)
dengan ukuran filter n x n(n=nilai rasio antara resolusi tinggi terhadap resolusi
rendah, misalnya 20 m terhadap 10 m memberikan rasio 2,dan ukuran filter
menjadi 2x2). Cara menerapkan pemfilteran bias I baca di subbab 6.4
Untuk tiga saluran beresolusi lebih rendah yang akan
di beri merah,hijau,dan biru melalui fusi dengan saluran pankromatik,maka rumus
di atas menjadi :
Meskipun Liu dan Mason (2009) menegaskanbahwa model
SFIM ini mampu mempertahankan aspek spectral dalam fusi citra multiresolusi,
ada juga kelemahannya yang sangat di pengaruhi oleh akurasi geometri. Kelemahan
ini muncul ketika citra multispectral resolusi rendah tidak terregistrasi atau
terkoreksi geometri dengan baik, mengacu ke citra beresolusi lebih tinggi, maka
pergeseran posisi ini akan muncul dalam bentuk gangguan warna.
6.3.4
Metode ‘Principal Compenent’
Metode penajaman spasial melalui fusi citra
multispectral dengan citra pankromatik juga dapat di lakukan dengan metode
Principal Compenent Analysis(PCA). PCA merupakan suatu analisis data
multispectral dengan jumlah saluran relative banyak (dan satu sama lain biasanya
saling berkorelasi),untuk menghasilkan citra baru dengan jumlah saluran yang
lebih sedikit, yang satu sama lain tidak saling berkorelasi. Meskipun jumlah
saluran baru ini (yang di sebut dengan PC1,PC2,PC3 dan seterusnya)lebih
sedikit, kandungan informasi yang di milikinya mewakili sebagian besar
informasi dari citra saluran-saluran asli. Saluran baru berupa citra PC1 hasil
transformasi PCA citra Landsat ETM+(enam saluran ), misalnya bias memuat hingga
83% dari total informasi keenam saluran. PC2 bisa mencapai hingga 14%,dan
persentase ini akn semakin sedikit pada PC-PC berikutnya. Pembahasan lebih
lanjut untuk PCA bias di baca pada Bab 7,subbab 7.5
Penggunaan tekhnik PCA untuk fusi dua macam citra
berbeda resolusi spasial dan spectral (misalnya citra pankromatik resolusi 10 m
dengan citra multispektral 30 m) mengikuti langkah-langkah berikut.
Pertama, citra multispectral di transformasi dengan
PCA sehingga menghasilkan citra baru dengan nama PC1,PC2,PC3 dan seterusnya.
Berangkat dari asumsi bahwa citra PC1 mewakili sebagian dari besar informasi
pada saluran multispectral asli dan bahwa PC1 tersebut hanya mengandung
iluminasi scene total,sementara variasi antar saluran di kandung oleh PC-PC
yang lain (Welch dan Ehlers,1987;Bretschneider dan Kao,200)
Gambar
66 Contoh tampilan di perangkat lunak ERDAS Imagine yang menyediakan menu
penjaman spasial melalui fusi data multiresolusi
Kedua, citra PC1 kemudian di ganti oleh citra
pankromatik resolusi tinggi melalui proses re-mapping julat numeric citra
pankromatik agar sama dengan julat numeric PC1. Ketiga, setelah himpunan data
PC berganti anggota,dimana PC1 di gantikan oleh citra pankromatik resolusi
tinggi maka seluruh PC dalam satu himpunan data PCA itu di re-sample ke
resolusi tinggi, Mengikuti citra pankromatiknya. Keempat,seluruh data PC dalam
suatu himpunan di transformasikan kembali (inversely transformed) untuk
menhasilkan kembali citra saluran-saluran multispectral penyusunnya, namun
masing-masing saluran sudah memuat informasi intensitas dan resolusi spasial
citra pankromatik.
6.3.5 Metode
Normalisasi Warna (CN)
Penajaman spectral dengan metode normalisasi warna
(colour sharpening atau colour normalization,CN) sebenarnya merupakan perluasan
dari metode Brovey. Perluasan ini terletak pada kemampuannya melibatkan lebih
dari tiga saluran. Jadi dengan kata lain, CN mampu mentranformasi dan
mempertajam saluran multispectral dengan jumlah berapapun untuk di padukan
dengan citra pankromatik dengan resolusi spasial lebih tinggi. Algoritma yang
ada pada CN mampu mempertahankan tipe data pada citra masukan beserta julat
spektralnya. CN juga dapat di terapkan pada citra hiperspektral untuk di
pertajam dengan citra multispectral beresolusi spasial lebih tinggi.
Penajaman
spektral dengan metode CN juga di sebut energy subdivinsion transform karena
menggunakan metode penajaman spasial citra multispectral berdasaran citra
dengan resolusi spasial tinggi namun sekaligus memiliki resolusi spectral
rendah. Julat spectral citra resolusi spectral rendah (lebar) yang di gunakan
harus mencakup seluruh julat spectral saluran-saluran citra spasial rendah yang
akan di pertajam secara spasial. Apabila terdapat saluran-saluran spectral di
luar julat minimum-maksimum citra resolusi spasial tinggi maka saluran tersebut
akan tetap tak berubah(tak di pertajam). Julat spektral citra yang digunakan
untuk mempertajam didefinisikan dengan pusat panjang gelombang dan nilai
mksimum setengah lebar spektral penuh. Data semacam ini diasumsikan sudah ada
di header citranya dan masing-masing citra masukan sudah didefinisikan lebar
spektral maupun pusat nilai panjang gelombangnya.
Dalam
proses penajaman spasial melalui CN ini, semua saluran masukan dikelompokkan ke
dalam segmen-segmen spektral yang didefinisikan oleh julat spektral citra yang
beresolusi spasial tinggi. Kemudian, segmen-segmen saluran itu diproses dengan
cara mengalikan setiap citra masukan dengan citra resolusi tinggi dan hasilnya
dinormalisasi. yaitu dibagi dengan jumlah total citra masukan yang termasuk
dalam segmen. Rumus CN adalah sebagai berikut (Liu dan Mason, 2009):
6.4 PEMFILTERAN SPASIAL
Pemfilteran
(spatial filtering) sebenarnya merupakan kelompok operasi tersendiri dan bukan
hanya penajaman. Swain dan Davis (1978) memberikan batasan filter sebagai
'...mekanisme yang dapat mengubah sinyal-sinyal optis, elektronis ataupun
digital, sesuai dengan kriteria tertentu'. lebih lanjut, keduanya
menyatakan bahwa pemiilteran adalah suatu cara untuk ekstraksi bagian data
tertentu dari suatu himpunan data, dengan menghilangan bagian-bagian data yang
tidak diinginkan.
Perlu
ditegaskan bahwa pengertian filter dalam pengolahan citra berbeda dengan
pengertian filter dalam fotografi. Persamaan mendasar keduanya hanya terletak
pada kemampuan untuk 'menyaring' atau menapis informasi sehingga menghasilkan
informasi selektif yang tak dapat dilihat pada kondisi biasa. Filter dalam
fotografi yang lebih dikenal sebagai filer optis mampu menapis benerapa
spektrum panjang gelombang dan juga melanjutkan spektrum tertentu. Filter dalam
pengolahan citra (secara khusus disebut filter digital) dirancang untuk
'menyaring' informasi spektral sehingga menghasilkan citra baru yang mempunyai
variasi nilai spektral yang berbeda dari citra asli.
6.4.1 Filter Konvolusi dengan
Jendela Bergerak
Berbeda
halnya dengan teknik penajaman kontras, operasi pemfilteran diterapkan dengan
mempertimbangkan nilai piksel yang bertetangga. Oleh karena itu,teknik
pemfilteran lebih sering disebut sebagai operasi lokal (lokal operatio),
sedangkan teknik penajaman yang lain disebut operasi titik (point operation)
(Galtier,1989). Operasi lokal ini dapat dilakukan dengan menerapkan algoritma
moving wondow. Jendela yang dimaksud di sini adalah suatu matriks, biasanya 3 x
3 atau 5 untuk ekstraksi bagian data tertentu dari suatu himpunan data, dengan
menghilangan bagian-bagian data yang tidak diinginkan.
Perlu
ditegaskan bahwa pengertiapengolahan citra berbeda dengan pengertian filter
dalam fotografi. Persamaan mendasar keduanya hanya terletak pada kemampuan
untuk 'menyaring' atau menapis informasi sehingga menghasilkan informasi
selektif yang tak dapat dilihat pada kondisi biasa. Filter dalam fotografi yang
lebih dikenal sebagai filer optis mampu menapis benerapa spektrum panjang
gelombang dan juga melanjutkan spektrum tertentu. Filter dalam pengolahan citra
(secara khusus disebut filter digital) dirancang untuk 'menyaring' informasi
spektral sehingga menghasilkan citra baru yang mempunyai variasi nilai spektral
yang berbeda dari citra asli.
6.4.1 Filter Konvolusi dengan
Jendela Bergerak
Berbeda
halnya dengan teknik penajaman kontras, operasi pemfilteran diterapkan dengan
mempertimbangkan nilai piksel yang bertetangga. Oleh karena itu,teknik
pemfilteran lebih sering disebut sebagai operasi lokal (lokal operatio),
sedangkan teknik penajaman yang lain disebut operasi titik (point operation)
(Galtier,1989). Operasi lokal ini dapat dilakukan dengan menerapkan algoritma
moving wondow. Jendela yang dimaksud di sini adalah suatu matriks, biasanya 3 x
3 atau 5 x 5 atau 7 x 7 , dan seterusnya,yang dioperasikan terhadap matriks
total (i baris x n j kolom citra), melalui algoritma tertentu sehingga
menghasilkan nilai baru pada posisi nilai pikel pusat. Nilai baru ini
menggantikan nilai lama. Setelah itu, jendela digeser lagi ke posisi berikutnya
(kekanan), sampai satu baris selesai, dan dilanjutkan lagi kebaris selanjutnya
sampai seluruh citra selesai dihitung
Tiap
jendela matriks mempunyai nilai atau bobot sendiri. Begitu pula
algoritmanya,khususnya untuk jendela yang berbentuk 3 x 1 ataupun 2 x 2. Dalam
paket program pengolahan citra, penyusunan jendela matriks ini dapat sangat
interaktif sehingga pengguna dapat mengisikan nilai sesuai dengan keinginan ke
dalam tiap sel matriks tersebut.
Input Ouput
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
16
|
12
|
20
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
13
|
9
|
15
|
|
|
|
|
|
12
|
|
|
|
|
|
|
2
|
7
|
12
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar
6.7 Cara kerja jendela bergerak, yang mengubah nilai piksel pada bagian tengah
jendela, dengan mempertimbangkan nilai-nilai piksel sekitarnya. Pada contoh
ini, apabila digunakan prinsip penghitungan nilai rerata dari seluruh nilai
piksel pada sembilan sel (3x3) maka nilai 9 di pusat jendela (gambar kiri) akan
berubah menjadi lI,7 yang kalau dibulatkan ke atas menjadi nilai l,seperti
tersaji pada gambar kanan. (Sumber: Kerle et al., 2006)
Terdapat bermacam-macam filter digital, tetapi dalam
konteks penajaman citra terdapat dua macam filter utama, yaitu filter high-pass
dan filter low-pass Keduanya menghasilkan efek yang berlawanan. Filter
high-pass menghasilkan citra dengan variasi nilai kecerahan yang besar dari
piksel ke piksel, sedangkan filter low-pass justru berfungsi sebaliknya. Di
samping itu, masih ada lagi kategori filter lain, yang tidak akan diuraikan di sini secara panjang lebar.
Untuk
membahas filter, terlebih dahulu kita ketahui pengertian frekuensi nilai kecerahan. Bila kita membuat penampang
melintang di atas sebuah citra digital,
kita akan memperoleh informasi nilai kecerahan (BV) dari satu piksel ke piksel
berikutnya. Semakin besar variasi nilai dari satu piksel ke piksel selanjutnya,
dikatakan semakin tinggi frekuensinya (lihat:
Gambar 6.8 dan 6. 9) Penggunaan filter high-pass ialah untuk menaikkan
frekuensi ini sehingga batas satu bentuk dengan bentuk lain menjadi semakin
rajam. Penggunaan filter low-pass adalah untuk menghasilkan efek kebalikannya:
batas satu bentuk ke bentuk lain menjadi kabur sehingga terkesan gradasi yang
halus. Gradasi yang halus inilah yang disebut dengan frekuensi rendah.
12
|
12
|
12
|
13
|
10
|
14
|
15
|
|
10
|
0
|
19
|
37
|
56
|
42
|
100
|
10
|
11
|
12
|
13
|
12
|
10
|
13
|
8
|
99
|
22
|
14
|
7
|
10
|
44
|
|
9
|
11
|
10
|
12
|
10
|
12
|
14
|
87
|
10
|
14
|
72
|
22
|
91
|
23
|
|
11
|
13
|
12
|
11
|
13
|
14
|
15
|
64
|
43
|
77
|
31
|
106
|
16
|
49
|
|
13
|
14
|
10
|
13
|
15
|
12
|
13
|
33
|
98
|
12
|
47
|
66
|
96
|
12
|
|
12
|
14
|
12
|
15
|
11
|
15
|
15
|
0
|
55
|
9
|
35
|
4
|
32
|
75
|
|
15
|
13
|
15
|
17
|
15
|
14
|
12
|
19
|
78
|
100
|
12
|
78
|
85
|
13
|
Gambar
6.8 Distribusi nilai piksel untuk citra frekuensi rendah (gambar kiri) dan
citra frekuensi tinggi (gambar kanan)
Gambar
6.9 Contoh untuk dua macam citra yang berbeda daerah dan frekuensinya. Gambar
kiri menunjukkan citra frekuensi rendah (Maros, Sulawesi Selatan), sedangkan
gambar kanan menunjukkan citra frekuensi tinggi (Damak, Jawa Tengah)
1. Penggunaan Gain dan Offset
Pada
setiap matriks filter terdapat koefisien Ci yang dapat diubah-ubah oleh
operator. Bagaimana kita bisa membedakan suatu filter bersifat high-pass dan
yang lain bersifat low-pass? Ada beberapa cara untuk melakukan hal tersebut,
namun berikut ini hanya dijelaskan salah satu yang Paling sederhana, yaltu penggunaan gain dan
offset. Berikut ini diberikan contoh suatu matriks filter berukuran 3 x 3,
dengan koefisien matriks ci,untuk I = 1,2,3, ....,9.
C1
|
C2
|
C3
|
C4
|
C5
|
C6
|
C7
|
C8
|
C9
|
Besarnya
gain didcfininikan sebagai:
dan
untuk menghindari nilai tak terhingga karena penyebut benilai 0 maka program
biasanya mengatur agar apabila jumlah total seluruh koefisien dalam matriks
bernilai 0, nilai gian diatur menjadi 1.
Matriks
ini digunakan untuk mengubah nilai piksel pada citra, tepat yang berimpit
dengan c5, melalui perkalian nilai gain dengan jumlah dari hasil
kali setiap nilai koefisien filter ci dengan nilai piksel BV pada posisi yang
sama pada citra:
di
mana BVpusat_baru adalah BV5 (pada posisi kelima dalam
kernel 3 x 3) atau BV13 (pada posisi ketigabelas dalam kernel 5 x
5). Besarnya offset bervariasi antara 0-255, yang gunanya ialah
untuk ‘menggeser' nilai kecerahan citra
menjadi lebih tinggi. offset
akan sangat bermanfaat apabila
hasilkali gain dengan jumlah perkalian setiap koefisien dengan nilai piksel
pada citra bernilai negatif atau sangat rendah sehingga tampak gelap pada layar
monitor.
Berdasarkan
formulasi ini, pemberian nilai koefisien yang berbeda-beda akan memberikan efek
spasial yang berbeda pula. Misalnya, apabila semua koefisien bernilai +1 maka
akan dihasilkan efek spasial yang berbeda jika c5 diberi nilai 9 dan koefrsien
sisanya diberi -1.
2. Filter Low-pass
Filter
ini paling sering digunakan untuk memperhalus kenampakan Cttra. Biasanya
berbentuk jendela matriks 3 x 3 ataupun 5 x5 yang tiap selnya berisi nilai
integer dengan perbedaan nilai yang tidak terlalu besar. Moving average filter atau mean
filter menghasilkan kenampakan halus,
di mana nilai piksel yang baru merupakan rerata dari haSil kali tiap
elemen matriks dengan nilai piksel yang dimaksud.
Mean filter 3x3 Citra asli:
1
|
1
|
1
|
|
12
|
13
|
12
|
20
|
100
|
43
|
1
|
1
|
1
|
43
|
13
|
10
|
9
|
99
|
82
|
|
1
|
1
|
1
|
39
|
51
|
48
|
39
|
12
|
8
|
|
50
|
50
|
50
|
51
|
11
|
9
|
||||
11
|
11
|
11
|
11
|
11
|
10
|
Gambar 6.10 Mean filter berukuran 3 x 3 (kiri) yang
diterapkan pada potongan citra asli (kanan)
Bila
mean filter ini dioperasikan terhadap
citra asli-hipotetik seperti di atas maka filter ini akan mulai dari susunan
piksel pojok kiri atas (lihat gambar). Apabila nilai offset diberi 0 maka nilai 13 sebagai nilai asli akan
tertransformasi menjadi:
Nilai
28 ini adalah nilai rerata dari nilai sembilan piksel yang bertetangga. Setelah
'menyelesaikan' jendela ini, matriks bergeser ke jendela berikutnya, yaitu:
13
12 20....
13
10 9.....
50
50 51....
dan
memberikan nilai baru yang menempati posisi '10', sebesar:
Begitu
seterusnya, sehingga dihasilkan citra baru dengan nilai kecerahan berikut.
Citra asli: Citra
terfilter low pass
12
|
13
|
12
|
20
|
100
|
43
|
|
28
|
28
|
26
|
40
|
47
|
47
|
43
|
13
|
10
|
9
|
99
|
82
|
28
|
28
|
26
|
40
|
47
|
47
|
|
39
|
51
|
48
|
39
|
12
|
8
|
39
|
39
|
36
|
37
|
36
|
36
|
|
50
|
50
|
50
|
51
|
11
|
9
|
36
|
36
|
36
|
27
|
18
|
18
|
|
11
|
11
|
11
|
11
|
11
|
10
|
36
|
36
|
36
|
27
|
18
|
18
|
Gambar 6.11Perbandingan distribusi nilai piksel pada
citra asli (kiri) dan citra yang telah mengalami proses pemfilteran rerata
(smoothing filter)
Bila
diperhatikan, terdapat dua gejala penting hasil pemfilteran denganfilter low
pass ini. Gejala pertama ialah terjadinya penghalusan (smoothing) gradasi nilai
dari satu piksel ke piksel lain sehingga perubahan nilai yang mencolok dapat
ditekan dengan memberikan nilai baru yang merupakan rerata dari nilai-nilai
piksel tetangga. Gejala kedua yaitu pada hasil pemfilteran terjadi penyusutan
ukuran asli citra, dari m kolom x n baris menjadi m-2kolom x n-2baris, untuk
filter berukuran 3 x 3; m-4 kolom x 11-4 baris, untuk filter 5 x 5; dan
seterusnya. Untuk menghindari penyusutan ukuran citra yang terfllter, biasanya
pada program pernfilteran ditambahkan suatu algoritma penyalinan (pengkopian)
baris-baris kedua dari atas dan kedua dari bawah untuk mengganti baris-baris
yang hilang, yaitu baris teratas dan terbawah. Hal yang sama diterapkan pada
kolom-kolom yang hilang sehingga ukuran citra terfilter menjadi sama dengan
ukuran citra asli.
Karena
efeknya yang menghaluskan citra, algoritma pemfilteran ini disebut juga sebagai
algoritma smoothing (penghalusan). Algoritma smoothing yang lain ialah dengan menggunakan
filter semacam ini:
2 2 2 1
1 1
2 4 2 dan juga1
2 1
2 2 2
1 1
1
3. Filter High-pass
Filter
high-pass biasa digunakan untuk menonjolkan perbedaan antar objek ataupun
perbedaan nilai, kondisi ataupun sifat antar objek yang diwakili oleh nilai
piksel. Perbedaan ini dapat ditonjolkan melalui teknik penajaman tepi (edge
enhancement) dan juga penonjolan kenampakan linier. Penajaman tepi sangat baik
untuk menyajikan kenampakan objek yang sangat bervariasi pada citra sehingga
satu sama lain dapat dibedakan dengan mudah. Filter high-pass juga diterapkan
dalam penyajian efek bayangan (shadow-effect) sehingga mempermudah analisis
fisiograflk. Filter high pass meliputi berbagai operasi lokal yang mempertajam
kesan, namun dapat dikelompokkan menjadi tiga. Perhatikan pembahasan berikut.
4. Filter dengan Metode Subtraksi
Prosedur
penumnan citra baru melalui filter high-pass pengurangan (subtraksi) ini dapat
dibagi menjadi dua langkah. Pertama, penghitungan nilai baru dengan menggunakan
algoritma moving average (dalam hal ini filter low pass), berdasarkan definisi
matriks filternya. Kedua, citra high pass diperoleh dari pengurangan citra asli
dengan citra moving averagenya (Shrestha, 1991):
BV baru = BV asli - BVmoving
average ................................................ (6.15)
atau
dapat pula dengan mengalikan nilai piksel asli (BV input) dengan suatu
koefisien, misalnya nilai 2, untuk mempertajam perbedaan (Jensen, 1986):
BVbaru
= (2 X BVnh) ‘ Banvmg average ....................................... (6.16)
Contoh-contoh
untuk filter high-pass dengan metode subtraksi ini antara lain:
1 -2 1 -1 -1 -1 -1 0 -1
-2 5 -2 -1 9 -1 0
5 0
1
-2 1 -1 -1
-1 -1 0 -1
5. Filter Gradien
Pada
tipe filter gradien, perbedaan intensitas atau nilai kecerahan dapat dihitung
pada arah sumbu x dan y. Perbedaan ke arah x dapat dihitung sebagai beiikut:
Filter
dX : BVx = BV(i,j) BV(i-1,j)
.......................................... (6.17)
sedangkan
nilai baru sepanjang sumbu y dapat dihitung melalui transformasi:
Filter
dY : BVy = BV(i,j) BV(i,j-1)
.......................................... (6.18)
Pemfilteran
ini dapat pula diterapkan untuk pembuatan model tiga dimensi dengan DTM
(Digital Terrain MOdel, atau DEM- Digital Elevation Model). Berbeda dengan
filter-filter yang telah diuraikan terdahulu, filter arah (directional filter)
ini diterapkan pada data digital hasil interpolasi kontur. Citra kontur hasil
interpolasi garis-garis isoline dipandang sebagai citra intensitas dan difilter
sehingga menghasilkan dua citra turunan (derivat), yaitu citra arah X dan citra
arah y.
Filter
diferensial, derivatif pertama:
filter a’x filter dy
-1
0 1 -1 -2 -1
-2
0 2
0 0 0
-1
0 1 1 2
1
Namun
di samping ke arah sumbu x dan y, penajaman pun dapat dilakukan ke arah
diagonal, melalui filter berikut:
arah baratdaya – timurlaut arah tenggara – barat laut
-2 -1 0 0
1
2
-1 0 1 -1
0
1
0 1 2 -2
-1 0
6. Filter Laplace
Filter
Laplace mempakan filter yang didasari oleh derivatif kedua. Derivatif pertama
memberikan gradien, sedangkan derivatif kedua menghasilkan laju perubahan
gradien. Hasil berupa nilai positif menunjukkan penambahan laju perubahan clan
hasil nilai negatif menunjukkan pengurangan laju perubahan. Nilai O menunjukkan
sifat konstan. Bila diterapakan pada citra, filter Laplace ini secara langsung
akan menunjukkan efek yang cenderung diperhalus (smoothea), sedangkan bila
basil tersebut dijadikan pengurang, efek yang dihasilkan adalah penajaman tepi
(Shresta, 1991).
Laplace arah x dan y Laplace semua arah
0 1 0 1
1 1
1 -4 1 1
-8 1
0 1 0 1 1 1
Citra asli dikurangi citra Laplace:
0
0 0 1 1 1 -1 -1 -1
0
1 0 1 -8 1 = -1 9 -1
0
0 0 1 1 1 -1 -1 -1
(asli) (Laplace) (Penajaman
tepi)
6.4.2 Filter Mayoritas
Filter
mayoritas pada dasarnya bukan suatu algoritma penajaman dan tidak memberikan
efek peningkatan ketajaman sepeti halnya filter high pass. Filter ini digunakan
terutama untuk memperbaiki hasil klasifikasi multispektral. Melalui teknik
pemfilteran mayoritas, piksel-piksel terasing dapat dihilangkan. Filter
mayoritas dirancang berdasarkan suatu asumsi bahwa fenomena geografls bersifat
keruangan. Artinya, kehadiran suatu objek atau fenomena tidaklah lepas dari
kaitan dengan objek lain. Mather (2004) menyebutkan bahwa fenomena geograiis
tidaklah bersifat acak, melainkan berupa struktur yang teratur. Kaican antara
suatu unsur dengan kondisi bentang lahannya hams diperhatikan. Dengan demikian,
kehadiran suatu piksel mempunyai kaitan dengan piksel lain yang berdekatan.
Hasil
klasilikasi multispektral kadang-kadang memberikan gambaran mengenai kehadiran
objek A (misalnya hutan) yang hanya terdiri atas beberapa piksel tersebar di
tengah-tengah ratusan piksel homogen objek B (misalkan air laut). Secara logis,
piksel-piksel A ini tidak mungkin di tengah-tengah B. Piksel-piksel terasing
ini dapat dihilangkan dengan algoritma moving Window (dapat 3 x 3 ataupun 5 x
5). Pada jendela ini, setiap kali komputer menghitung jumlah kehadiran nilai
kecerahan yang ada di dalamnya. Satu atau dua nilai yang berbeda akan diganti
menjadi nilai yang muncul paling banyak. Pembahasan lebih lanjut bisa dibaca di
Bab 8 (Klasilikasi Multispektral).
6.4.3 Filter Tekstur
Penggunaan
metode jendela bergerak juga dapat diterapkan untuk mengubah infomasi pada
suatu citra sehingga menonjolkan kenampakan teksturalnya. Teksrur adalah
frekuensi perubahan rona dalam ruang pada tingkat resolusi terkecil yang dapat
diamati secara visual (visually observable spatial resolution). Pada suatu area
tertentu, suatu kenampakan dapat dikatakan bertekstur halus kalau 1aju perubahan
rona yang ada relatif kecil. Sebaliknya, tekstur dikatakan kasar apabila laju
perubahan rona di dalam ruang observasi juga besar serta bersifat tidak
gradual. Gambar 6.12 menunjukkan objek bertekstur halus, sedang, dan kasar.
Gambar
6.12 Beberapa contoh kenampakan tekstural untuk menujukkan objek bertekstur
halus, sedang, dan kasar
Apabila
cara berpikir ini diterapkan pada citra penginderaan jauh maka bisa dikatakan
bahwa semakin homogen nilai pikselnya, atau semakin gradual perubahan nilai
pikselnya dari satu titik ke titik lain, semakin halus pula teksturnya. Begitu
pula sebaliknya. Penilaian kuantitatif tekstur dengan demikian dapat dilakukan
dengan memperhatikan piksel-piksel yang bertetangga pada suatu ukuran area
observasi tertentu. Salah satu operasi ketetanggaan (neighbourhood operation)
yang efektif untuk menonjolkan informasi tekstural ini adalah filter dengan
jendela bergerak.
Mekanisme
jendela bergerak pada filter tekstur pada dasarnya sama dengan filter-filter
lain. Perbedaannya terletak pada cara komputasi piksel-piksel yang berdampingan
dalam jendela tersebut. Mengingat bahwa kenampakan tekstural berkaitan dengan
frekuensi perubahan rona piksel-piksel tersebut dan frekuensi perubahan rona
juga pada dasarnya terkait dengan beberapa parameter statistik seperti misalnya
simpangan baku, variansi, dan julat minimum-maksimum, maka setiap kelompok
piksel pada ukuran jendela tertentu dapat dihitung parameter statistiknya dan
nilai hasil komputasi ini ditempatkan pada piksel pusat jendela.
Gambar 6.13 Metode pemfilteran tekstural (Sumber :
Danoedoro, 2006)
Beberapa
perangkat lunak seperti ENVI dan ERDAS Imagine menggunakan simpangan baku,
rerata, variansi, julat minimum-maksimum, dan
juga entropi untuk menyatakan ukuran teksturnya. Pada umumnya, semakin
kecil nilai hasil komputasinya, semakin halus pula teksturnya. Melalui proses
pemfilteran seperti ini, kenampakan wilayah urban akan cenderung menunjukkan
nilai tekstural yang lebih tinggi (yang berarti lebih kasar) dibandingkan
dengan wilayah rural, khususnya apabila citra beresolusi spasial sekitar 20-50
meter digunakan untuk analisis.
6.4.4 Agregasi Tekstural
Cara
komputasi statistik untuk menonjolkan aspek tekstural tertentu dapat diadopsi
melalui proses agregasi (bukan tekstur), yang memberikan 1efek penurunan
resolusi spasial. Danoedoro (2005) menerapkan agregasi tekstural citra
pankromatik Quickbird dan Landsat ETM+, yang masingmasing beresolusi spasial
0,6 m dan 15 In menjadi citra baru beresolusi 2,4 m dan 3 m, yang pada dasarnya
setara dengan citra multispektral untuk sensor yang sama. Prinsip agregasi ini
adalah mengelompokkan piksel-piksel resolusi spasial tinggi ke dalam satu
piksel beresolusi spasial rendah, di mana nilai piksel baru ditentukan dari
hasil komputasi informasi tekstural kelompok piksel citra lama.
Gambar 6.14
Metode agregasi tekstural yang memberikan efek penurunan resolusi spasial
(Danoedoro,
2006)
Dengan
cara ini, setiap 4 x 4 piksel resolusi 0,6 m dijadikan satu piksel baru
beresolusi 2,4 m, di mana nilai barunya bisa diperoleh dari perhitungan rerata,
simpangan baku, ataupun variansi dari kelompok piksel penyusunnya. Begitu pula
halnya dengan setiap 2 x 2 piksel citra pankromatik Landsat ETM+ yang
diturunkan resolusinya menjadi 30 m, dengan nilai piksel baru yang
merepresentasikan parameter statistik tertentu. Informasi tekstural semacam ini
dapat dimanfaatkan untuk mengintegrasikan data pankromatik beresolusi spasial
tinggi dengan data multispektral sensor yang sama dalam suatu klasiflkasi
multispektral.
6.5 APLIKASI TEKNIK PEMFILTERAN
DALAM STUDI PENGINDERAAN JAUH
Aplikasi
utama teknik pemfilteran dalam penginderaan jauh ialah untuk pengenalan pola
(pattern recognition), khususnya pola spasial objek. Banyak peneliti
menggunakan teknik-teknik pemfilteran untuk menonjolkan jenis-jenis batuan atau
litologi tertentu. Melalui teknik pemfilteran, variasi relief yang kurang jelas
pada citra asli dapat ditonjolkan sehingga topografi suatu bentuk lahan
tertentu dapat dibedakan dari yang lain secara lebih baik. Penggunaan teknik shadow filter dapat menonjolkan
perbedaan topografi perbukitan karst dari perbukitan batu pasir terkikis sedang
karena efek simulasi bayangan yang ditimbulkan mampu menonjolkan perbedaan
bentuk kubah dan igir yang cenderung membulat.
Penggunaan
filter Laplace mampu menonjolkan kenampakan kekar (joint) pada batuan dan juga
kelurusan (lineament) sehingga sangat membantu dalam proses identifikasi batuan
untuk pemetaan geologi atau geomorfologi. Filter serupa juga dapat diterapkan
untuk studi kekotaan dengan menggunakan citra resolusi tinggi, misalnya SPO-5
Pankromatik ataupun Quickbird (0,6 2,4 m), sehingga jaringan jalan dapat
diperjelas; begitu pula blok-blok bangunan yang bentuk, ukuran, pola, dan
situsnya dapat membantu dalam pengenalan kelas-kelas permukiman kota.
Perpaduan
teknik pemfilteran, penajaman kontras dan penyusunan komposit yang tepat akan
sangat membantu dalam memperbaiki kualitas citra yang akan diinterpretasi
secara visual. Bila citra komposit hasil perpaduan saluran-saluran asli yang
telah difilter hendak digunakan sebagai media pengambilan sampel (lihat Bab 8
mengenai Klasifikasj Multispektral), meskipun saluran-saluran asli tetap
dipakai sebagai masukan, diperlukan kehati-hatian dalam menilai variabilitas
spektral objek yang hendak diambil sebagai sampel. Hal ini mudah dimengerti,
mengingat kenampakan objek pada citra komposit tadi merupakan hasil perpaduan
saluran asli yang telah diubah variabilitas spektralnya.
Gambar
6.15 perbandingan pemfilteran. Atas: citra asli Landsat TM 5, bawah: dengan penghalusan
(smoothing)
Gambar
6.16 perbandingan hasil pemfilteran untuk daerah muara kali wulan, Demak. Kiri
atas, citra asli; kanan atas: hasil pemfilteran dengan penajaman tepi (edge
enhancement), dimana pada kernel 3x3 bagian pusat bernilai 14 dan bagian tepi
semu bernilai –I . Kiri bawah, hasil pemfilteran median dengan ukuran kernel
5x5; kanan bawah hasil pemfilteran dengan derivative kedua (Laplace), dimana bagian
pusat kernel 3x3 bernilai -4 dan seluruh tepinya bernilai +1.
Gambar 6.17 Citra elevasi yang terbentuk melalui
pembuatan model elevasi digital wilayah Gunung Kidul. Daerah Istimewa
Yogyakarta. Citra ini merupakan hasil interpolasi kontur, di mana setiap nilai
piksel menunjukkan elevasi dalam meter dan tersaji pada resolusi spasial 30
meter
Penggunaan
citra yang telah terfilter, khususnya filter-filter high-pass atau penajaman tepi-sebagai dasar pengambilan titik-titik
kontrol untuk koreksi geometri juga perlu dipertimbangkan secara teliti. Filter-filter
tersebut di atas cenderung memanipulasi nilai piksel untuk menonjolkan kesan
visual yang lebih baik. Ada kalanya terjadi pergeseran posisi batas objek
sebagai konsekuensi perubahan nilai; misalnya pada penerapan filter Laplace.
Pergeseran sejauh satu hingga dua piksel ini, bagaimana Pun juga, berpengaruh
terhadap akurasi posisi titik-titik kontrol, yang sebenarnya berupa
piksel-piksel dengan koordinat tertentu.
Gambar
6.18 Gambar atas dan bawah berturut-turut menunjukan hasil pemfilteran citra
pada Gambar 6.17 arah sumbu x (atas) dan sumbu y (bawah), dimana nilai piksel
pada masing-masing citra itu menunjukan nilai beda tinggi dengan nilai piksel
tetangganya.
Gambar
6.19 Hasil pemfilteran shadow atau shaded relief atas citra DEM pada Gambar 617.
Perhatikan bedanya pada kesan relief dan arah bayangan, jlka dibandingkan
dengan pemfilteran arah x dan y pada Gambar 6.18
Banyak
penelitian mencoba menggabungkan saluran-saluran spektral yang telah difilter
tekstur sebagai tambahan terhadap data saluran asli, untuk meningkatkan akurasi
hasil klasifikasi multispektral. Penelitian Danoedoro (2003), Chen et al (2004)
dan Puissant et al (2005), misalnya, menunjukkan bahwa filter tekstur pada
ukuran jendela 7x7 mampu meningkatkan akurasi hasil klasifikasi, khususnya
ketika pembedaan kategori penutup dan penggunaan lahan tidak terlalu
diperhatikan dan atau proses klasiflkasi mencoba menggunakan metode penamaan
sampel-sampel spektral sebagai objek penggunaan lahan secara langsung.
Penelitian
Danoedoro dan Phinn (2005) selanjutnya menunjukkan bahwa penggunaan filter
tekstur untuk saluran-saluran asli justru dapat menurunkan tingkat akurasi
hasil klasifikasi, ketika acuan yang digunakan berupa skema klasifikasi penutup
lahan yang lebih berorientasi pada kelas-kelas spektral (bukan
kategori-kategori spasial). Penelitian ini menunjukkan bahwa skema klasifikasi
berperan sangat penting dalam metode dan proses penurunan informasi (lihat Bab
8).
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro,Projo. Penagantar Penginderaan Jauh
Digital .-Ed.1.-Yogyakarta: ANDI.2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar