Kamis, 20 April 2017

BAB 4 STATISTIK DAN ALJABAR CITRA UNTUK VISUALISASI DAN ANALISIS DATA PENGINDERAAN JAUH






NAMA : DINA A TUHUTERU
NIM     : 2014-64-040



BAB 4

STATISTIK DAN ALJABAR CITRA UNTUK VISUALISASI DAN

ANALISIS DATA PENGINDERAAN JAUH


4.1  STASTIATIK CITRA

Citra yang suda di jelaskan pada bab-bab sebalumnya,merupakan sekumpulan piksel dengan nilai tertentu yang mewakili besaranya pantulan atau pancaran spektral objek yang terekam oleh sensor.dengan demikian,suatu berkas citra tidaklah tersusun atas sekumpulan piksel yang benar-benar homogeny,melainkan terdiri dari suatu populasi piksel yang mewakili kenyataan di lapangan-yaitu beragam jenis penutup lahan dengan beragam karakteristik yang terwakili oleh nilainya.setiap saluran spektral mempunyai kepekaan tertentu terhadap respons objek-objek ini sehingga distribusi respons spektral (yang diwakili oleh nilai piksel) objek-objek tersebut pada suatu himpunan data citra akan bervariasi dari saluran ke saluran yang lain, dan dari satu wilayah ke wilayah yang berbeda. Adanya perbedaan ini menyebabkan penggunaan parameter-parameter statistic tertentu menjadi penting dan relevan untuk dibahas karena hal itu dapat digunakan untuk memahami karakteristik populasi piksel yang mewakili objek hasil perekaman sensor.
Seorang analis citra biasanya melakukan observasi dan evaluasi awal suatu data digital penginderaan jauh melalui beberapa aktivitas berikut ( Jensen,2005)
1.      Mengamati frekuensi kemunculan nilai-nilai kecerahan (brightness valuesm, BV) secara individual suatu citra dalam bentuk histogram
2.      Mengamati nilai BV piksel secara individual pada layar monitor komputer pada suatu lokasi tertemtu atau didalam suatu area geografis
3.      Melakukan komputasi  mendasar dalam hal statistik deskriptif univariat piksel-pikselnya,untuk menentukan apakah ada anomali atau penyimpangan yang tidak lazim dalam data citra tersebut
4.      Melakukan komputasi stastitik multivariatuntuk menentukan besarnya korelasi antarsaluran (misalnya untuk melihat adanya redudansi data)

4.1.1        Notasi Matematis Untuk Statistik Pengolahan Citra
Notasi berikut ini sering kali digunakan dalam analisis statistik citra.
I        = suatu baris dalam citra
j     = suatu kolom (atau sampel) dalam citra
k    = suatu saluaran spektral pada citra
l    = saluran spektral yang lain pada citra
n   = jumlah total piksel dalam suatu citra
BVijk  =nilai kecerahan (brightness volue) piksel pada baris i,kolom j, saluran k
BVik  = nilai kecerahan piksel ke-I pada saluran k
BVil   =nilai kecerahan piksel ke-l pada saluran k
Mink  = nilai kecerahan minimum pada saluran k
Maxk  = nilai kecerahan minimum pada saluran k
rangek = julat nilai kecerahan aktual pada saluran k
quantk = kuantisasi atau tingkat bit-coding untuk saluran k (misalnya 28=0-255)
µk  = nilai rerata piksel pada saluran k
vark = variansi nilai piksel pada saluran k
sk  = simpangan baku nilai piksel saluran k
skewnessk = kemencengan distribusi nilai piksel pada saluran k
kurtorsisk = kurtosis nilai piksel saluran k
covkl  = kovariansi antar nilai-nilai piksel pada dua saluran k dan I
rkl  = korelasi antar nilai-nilai piksel pada dua saluran k dan l
xc  = vektor pengukuran untuk kelas c yang tersusun atas nilai kecerahan BVijk dari baris i,kolom j,dan saluran k
Mc  = rerata vektor untuk kelas c
Mcd = rerata vektor untuk kelas d
µck  = nilai rerata untuk data pad kelas c,saluran k
Sck  = simpangan baku data padakelas c untu saluran k
Vckl  =matriks kovariansi kelas c untuk saluran k hingga I yang itunjukan sebagai Vc
Vdkl  = matks kovariansi kelas d untuk saluran k hingga l yang ditunjukan sebagai Vd

4.1.2        Tendensi Sentral: Relata, Kemencengan, dan Simpangan Baku
Sama halnya dengan statistic populasi yang lain,tendensi sentral suatu citra penggambaran pola distribusi nilai kecerahan piksel (BV) dalam citra tersebut. Rumus-rumus berikut ini memberikan gambaran bagaimana suatu citra yang merupakan kumpulan piksel dengan berbagai nilai mempunyai pola statistik tertentu.Tendensi sentral suatu citra menunjukan kecenderungan distribusi nilai-nilai yang ada dalam suatu citra yang bisa ditunjukan dalam bentuk histogram.

Gambar 4.1 berbagai bentuk distribusi nilai piksel pada citra yang diwakili oleh histogram    (Jensen,2005) 


Nilai rerata citra suatu saluran yang rendah akan ditunjukan oleh tampilan citra (asli) yang relative gelap. Kalau pun terdapat kenampakan kontraks didalamnya, secara keseluruan akan diperoleh kesan bahwa citra tersebut beronda relative gelap. Sebaliknya, nilai rerata citra suatu saluran yang lebih tinggi diwakili oleh kenampakan citra yang relatif cerah,baik terlihat kontras maupun tidak.selai nilai rerata µk, ada ukuran terdensi sentral yang lain,yaitu median,modus,simpangan baku,dan kemencangan. Rumus-rumus untuk masing-masing parameter adalah sebagai berikut.

Dua contoh citra hipotetik (gambar 4.2) dan dua citra sebenarnya (gambar 4.3) berikut ini mempunyai nilai rerata µk yang berbeda,dimana µk pertama lebih reah dari pada µk kedua.
10
19
88
3
24
70
42
25
25
11
73
66
23
21
81
88
99
56
72
69
42
35
23
35
10
34
81
95
100
48
20
0
26
12
41
67
49
55
50
38
3
24
31
9
18
98
75
83
12
44
   B1              µB1=28,16                                                       B2              µB2 = 59,44

Ganbar 4.2 citra hipotetik untuk saluran 1 (B1) dan saluran 2 (B2) dengan nilai rerata masing-masing (µB1 dan µB2)

1.1.1        Variansi, Kovariansi , dan Korelasi
Variasi atau ragam (vark) merupakan salah satu tolak ukur keberagaman nilai suatu himpunan data. Dalam hal ini,citra merupakan suatu himpunan data nilai piksel sehingga nilai variansi suatu saluran citra merupakan gambaran tentang keberagaman nilai piksel yang ada pada citra tersebut. Ada kaitan yang erat antara variansi dan simpangan baku sk. Kalau simpangan baku menyatakan bentangan datanya. Semakin beragam nilai pikselnya,semakin besar bentangannya. Variasi merupakan nilai kuadrat dari simpangan baku sehingga dapat dirumuskan sebaggai berikut.

Gambar 4.3 besarnaya nilai rerata untuk saluran 4 (kiri) dan saluran 7 (kanan), disertai dengan kenampakan yang sesunggunya

Sebenarnya, baik simpangan baku maupun variansi merupakan parameter sebaran data (data spread). Keuntungan penggunaan simpangan bakusk ialah bahwa parameter ini dinyatakan dalam satuan pengukuran yang sama dengan data pengamatan asli; sementara variansi dinyatakan dalam satuan kuadratny (Stein. 1999).
Baik simpangan baku maupun variansi dimanfaatkan untuk menjelaskan variansi nilai suatu variable tunggal,yang dalam hal ini adalah satu saluran tunggal,misalnya saluran biru,hijau, atau inframerah jauh. Kadang kala kita memerlukan suatu ukuran informasi mengenai kaitan atau relasi antara dua atau lebih saluran dengan saluran lainya,khususnya ketika kita memprediksi suatu variable berdasarkan variabel lain.
Parameter kovariansi digunakan untuk menyatakan variansi  bersama atau gabungan (joint variation) dan variable terkait dengan nilai rerata mereka bersama-sama. Pengukuran semacam ini diperlukan karena pengukuran spektral melalui nilai piksel hasil sensor penginderaan jauh sering kali berubah bersama-sama melalui cara yang dapat diprediksikan. Apabila tidak ada hubungan antara satu nilai piksel pada satu saluran dengan nilai piksel yang sama pada saluran lain maka kedua nilai tersebut salin independen,dalam arti bahwa perubahan nilai piksel pada suatu saluran tidak diikuti dengan perubahan nilai piksel yang dapat diperediksi pada saluran lain. Karena pengukuran nilai-nilai spektral piksel tidak dapat independen maka suatu ukuran untuk interaksi antar saluran itu diperlukan,yaitu dalam bentuk kovariansi.

Kovariansi antara dua saluran k dan I (covkl) dapat dinyatakan dengan rumus berikut ini (Jensen, 2005)

Sementara itu,kekuatan hubungan antar dua saluran spektral k dan I (rkl) bias didevinisikan dengan rumus koefisien korelasi Product Moment sebagai berikut: 


Dimana covkl adalah nilai kovariansi antara kedua saluran k dan l, sedangkan sk dan sl berturut-turut adalah nilai simpangan baku piksel-piksel disaluran k dan l. nilai kovariansi untuk dua saluran indetik adalah sama dengan nilai variansi saluran tersebut atau kuadrat dari simpangan berikutnya. Untuk citra Langsat ETM+ wilaya Maros,Sulawesi selatan, ena saluran spektral dari biru hingga inframerah jauh dapat dibuat table variansi dan kovariansi secara rerata dan simpangan bakunya (Tabel 4.1). table matriks variansi-kovariansi secara sederhana memberikan gambaran bahwa sepasang  saluran yang masing-masing mempunyai nilai variansi tinggi akan cenderung mempunyai nilai kovariansi tinggi pula.  Sebaliknya,  sepasang saluran   yang masing-masing mempunyai nilai variansi rendah akan menunjukan nilai kovariansi antar saluran yang rendah pula.

Table 4.1 matriks variansi disertai ererata da simpangan baku citra Landsat ETM+ Maros, Sulawesi selatan (enam saluran: 1-5 dan 7). Tampilan citra tersaji pada gambar 4.4

Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Saluran 4
Saluran 5
Saluran 7
Saluran 1
1049.03
1492.76
484.01
672.47
339.11
196.34
Saluran 2
1492.76
2305.77
956.55
859.03
414.38
187.18
Saluran 3
484.01
956.55
746.23
165.14
57.82
-61.11
Saluran 4
672.47
859.03
165.14
565.67
306.78
211.03
Saluran 5
339.11
414.38
57.82
306.78
183.39
134.53
Saluran 7
196.34
187.18
-61.11
211.03
134.53
124.55
Rerata
44.7
74.75
57.56
55.58
61.20
77.05
Simp.baku
32.39
48.02
27.32
23.78
13.54
11.16

Citra salura biru hingga inframerah jauh yang sama dapat dikomputasi nilai koofisien korelasinya seperti tersaji pada Tabel 4.2. pada table tersebut terlihat bahwa untuk saluran yang sama (misalnya antar saluran 2 dengan saluran 2), nilai koefisien korelasinya pasti 1.00 atau berkorelasi positif sempurna. Sementara itu, sama halnya dengan matrikas variansi-kovariansi, nilai koefisien korelasi antara saluran 1 dengan saluran 2 sama besarnya  dengan nilai koefisien korelasi antara saluran 2 dengan saluran 1.

Table 4.2 Matriks korelasi antarsaluran pada citra Landsat ETM+ wilayah Maros, Sulawesi Selatan

Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Saluran 4
Saluran 5
Saluran 7
Saluran 1
1.00
0.96
0.55
0.87
0.77
0.54
Saluran 2
0.96
1.00
0.73
0.75
0.64
0.35
Saluran 3
0.55
0.73
1.00
0.25
0.16
-0.20
Saluran 4
0.87
0.75
0.25
1.00
0.95
0.80
Saluran 5
0.77
0.64
0.16
0.95
1.00
0.89
Saluran 7
0.54
0.35
-0.20
0.80
0.89
1.00

 


Berdasarkan tabel 4.2 tersebut, terlihat bawah ada saluran-saluran yang berkorelasi tinggi (misalnya saluran 1/biru dengan saluran 2/hijau; dan saluran 4/inramerah dekat dengan saluran5/infrahmerah tengah).Namun, ada pula yang berkorelasi rendah (misalnya saluran 3/merah dengan 5/inframerah tengah; dan saluran 3/merah dengan salura 7/inframerah jauh). Penjelasan tentang hal ini dapat dikembalikan ke teori tentang pola spectral  objek di berbagai spektra panjang gelombang, namun juga tergantung pada keampaka objek yang dominan pada liputan citra.Gambar 4.4 melengkapi penjelasan ini.

4.2 ALJABAR CITRA

Banyak operasi pengolahan citra bertumpu pada operasi titik (point operation), disamping perhitungan statistika citra dan operasi ketetanggaan (neighbourhood). Operasi titik yang dimaksud di sini adalah bahwa target operasi pengolahan difokuskan pada nilaipiksel (BV) tertentu, di mana pun titik iksel itu berada. Misalkan kita ingin menunjukan  pada suatu nilai 20 maka melalui operasi titik sembarang piksel dalam suatu citra dengan nilai 20 akan diperlakukan sama.
Di samping itu, pengolahan citra digital juga biasanya memperlakukan beberapa saluran spektral secara serentak dalam suatu tugas pengolahan. Operasi yang biasa diterapkan  pada satu himpunan peta bias berupa penambahan/penjumlahan, pengurangan, perkalian, atau pembagian. Operasi semacam ini merupakan operasi aljabar peta (map algebra). Konsep dasar dan prinsip=prinsip aljabar peta secara rinci bisa dibaca di tulisan Tomlin (1983). Aljabar peta dioperasikan pada peta dengan model data raster, dank arena citra dalam hal ini juga bisa dipandang sebagai salah satu varian peta raster maka kebanyakan operasi aljabar peta bisa diterapkan pada citra digital, dimana peta-peta dengan tema berbeda diganti oleh citra dengan saluran spectral yang berbeda.

4.2.1 Prinsip Dasar Aljabar Citra

Liu dan Mason (2009) secara spesifik memandang aljabar peta yang diterapkan pada citra merupakan kelompok operasi titik multipeta (multi image point operations). Operasi ini berlangsung pada multivariate, dimana jumlah saluran menggantikan jumlah variabel dan dijalankan pada piksel demi piksel secara indenpenden tanpa mempertimbangkan kondisi piksel-piksel yang bertetangga. Secara umum terlihat pada fungsi berikut:
Y  = f (x1, x2, x3,…… xn),
Dimana n adalah jumlah saluran atau lapisan.
Syarat utama suatu himpunan citra atau himpunan saluran dapat diproses dengan operasi aljabar adalah bahwa seluruh citra sudah harus dikoreksi  geometrik atau sudah mengalami ko-registrasi sehingga semua kenampakan pada citra sudah mengacu ke sistem koordinat yang sama-setidaknya berupa registrasi citra ke citra dan hanya mempuyai koordinat baris kolom saja. Koreksi geometrik atau ko-registrasi membawa konsekuensi pada kesamaan ukuran piksel.
Perlu ditekankan di sini bahwa operasi aljabar citra (atau peta) sepenuhnya bersifat lokal, berbasis pixel-to-pixel.Untuk itu dapat diturunkan suatu deskriptor. Xi adalah citra, di mana i= 1,2,3,….n, yang merepresentasikan baik saluran ke-I maupun sembarang piksel didalam saluran ke-i himpunan data citra X, dimana Xi ϵ X.
Ada empat macam operasi aritmetik dasar yang biasa digunakan pada citra, yaitu penjumlahan (addition), pengurangan (subtraction), perkalian (multiplication), dan pembagian (division). Operasi-operasi dasar ini nantinya akan terkombinasi dengan operasi matematis lain, misalnya fungsi trigonometric. Operasi ini juga kemudian bisa dipadukan dengan operasi logis, misalnya IF-THEN atau IF-THEN-ELSE.

4.2.2  Jenis-jenis Operasi Aljabar Citra

1. penjumlahan citra

Penjumlahan citra menghasilkan citra baru hasil penjumlahan dengan nilai baru yang diberi  bobot. Secara umum hal itu dapat dirumuskan sebagai berikut:

di mana Y adalah citra baru, Wi adalah bobot citra masukan Xi, dan k  adalah faktor skala. Jadi, apabila Wi sama dengan 1 untuk i = 1,..,n, dan k = n, maka rumus diatas menghasilkan citra rerata dari seluruh citra masukan.


Gambar 4.5 atas : penjumlahan citra dengan menggunakan nilai piksel asli memberikanan citra baru dengan nilai atau julat melebihi kondisi asli dan bisa menyebabkan penyimpanan dalam tingkat bit yang lebih tinggi.

Penjumlahan citra bisa diterapkan pada sekumpulan saluran pada citra multispektral (gambar 4.5). mengingat bahwa setiap piksel pada suatu citra saluran i dapat terkontaminasi oleh derau (noise), sementara piksel yang memuat derau tidak muncul pada sembarang posisi yang sama pada saluran-saluran yang berbeda, maka penjumlahan citra dengan efek memeratakan seluruh nilai pada seluruh saluran akan ‘membagi’ derau pada satu piksel dengan jumlah saluran yang ada (Liu dan Mason, 2009). Piksel pada satu saluran yang mempunyai signal-to-noise ratio (S/N ratio yaitu nisbah sinyal terhadap derau) rendah karena adanya gangguan memperoleh keuntungan, menjadi citra baru (rerata) yang mempunyai S/N ratio yang lebih tinggi.
Pada banyak kasus, penjumlahan citra dilakukan tanpa mempertimbangkan bobot, apalagi factor skala. Dengan demikian, penjumlahan terjadi begitu saja  dengan hasil akhir merupakan jumlah total dari seluruh piksel pada posisi koordinat yang sama. Penjumlahan dengan faktor pembobot seperti tersaji pada rumus tersebut merupakan  metode pejumlahan citra pada aras pengolahan citra agar hasil akhir tetap berada dalam julat (range) bit-coding yang sama dengan citra masukan.

2. pengurangan citra
Seperti halnya penjumlahan citra , pengurangan citra juga memperhatikan jumlah dan bobot citra masukan . rumusnya adalah sebagai berikut:

dimana Xi dan Xj berturut-turut adalah citra saluran i dan j : sementara Wi dan Wj masing-masing adalah bobot dari citra Xi dan Xj.

Liu dan  Mason (2009) menegaskan bahwa dalam pengurangan citra, besarnya bobot citra masukkan sangatlah penting. Sebagai contoh,  apabila citra masukan Xi mempunyai kontras yang jauh lebih tinggi dari pada Xj maka selisih keduanya dengan menggunakan bobot wi  da wj tidak akan menggambarkan selisih yang sebenarnya.  Untuk itu, diperlukan  suatu pra-pemrosesan yang antara lain menggunakan teknik histogram matchling, dimana histrogram kedua citra disesuaikan  terlebih dahulu untuk menghasilkan pola dan julat yang kurang lebih sama. Apabila beda kontras antara kedua citra Xi dan Xj tidak terlalu besar maka nilai bobot wi dan wj = 1 bisa digunakan.
Liu dan Mason masih menambahkan bahwa penggunaan teknik pengurangan citra  kadang kala mengurangi informasi citra. Lebih dari itu, teknik ini juga bisa mengurangi S/N ratio citra sebab pengurangan mampu mengurangi fitur kenampakan bersama pada kedua citra dan sekaligus mempertahankan derau acak ( random noise) pada kedua citra. Lepas dari kekurangan tersebut, beberapa metode pengurangan citra diketahui cukup bermanfaat dalam menonjolkan aspek tertentu dari vegetasi maupun tanah, misalnya kandungan klorofil dan mineral lempung.
3. perkalian citra
Perkalian citra didefenisikan dengan rumus berikut:
Y = Xi . Xj ………………………………………………………………(4.10)
Dimana Y adalah citra baru hasil perkalian, sementara Xi dan Xj berturut-turut  adalah citra saluran i dan j . dalam perkalian ini setiap nilai piksel  pada suatu posisi  baris dan kolom dalam citra i dikalikan dengan setiap nilai piksel pada posisi baris dan kolom  yang sama dalam citra j. perkalian terjadi dengan cara demikian karena meskipun citra pada dasarnya adalah suatu array 2 dimensi, tetapi citra bukanlah matriks sehingga operasi perkaliannya tidak sama dengan operasi perkalian pada matriks. 

Perkalian citra tanpa penskalaan kembali hasil perkalian (citra Y,atas ) dan dengan penskalaan melalui operasi akar kuadrat (citra Y,bawah)
Syarat lain yang harus di penuhi dalam perkalian citra adalah bahwa kedua citra I dan j yang terlibat memiliki referensi spasial yang sama.dalam paket pengolah citra digital murni, hal ini bisa di penuhi oleh dua citra I dan j yang mempunyai ukuran piksel yang sama. Pada sistem pengolah citra penginderaan jauh yang terkait dengan operasi SIG, ada syarat lain yang harus di penuhi, yaitu bahwa kedua citra I dan j harus punya georeferensi yang sama, yaitu mengacu ke proyeksi dan sistem koordinat yang sama. Hal ini juga berlaku untuk semua metode aljabar.Hasil perkalian adalah citra baru dengan nilai yang jauh lebih besar dari nilai maksimum (asli). Kondisi dengan nilai yang jauh lebih besar ini berdampak pada tidak jelasnya gambar yang tersaji pada citra , kecuali melalui mekanisme perentangan kontras yang proporsional. Cara lain adalah dengan menerapkan operasi akar terhadap rumus asli:


4. Pembagian citra 

Pembagian citra secara sederhana dapat di rumuskan sebagai berikut.

Sama halnya dengan rumus-rumus terdahulu terkait dengan aljabar citra, Y menyatakan citra baru hasil komputasi, sementara Xi dan Xj berturut-turut mewakili citra saluran I dan j. Hal penting yang perlu di perhatikan di sini adalah adanya kemungkinan bahwa penyebut (piksel pada citra j) benilai 0.apabila hal ini terjadi maka nilai tak terdefinisikan pada citra keluara Y akan  di hasilkan. Untuk mengatasi masalah semacam ini, kadang kala julat nilai 0-255 pada citra Xj terlebih dahulu di geser menjadi 1-256, meskipun hal ini juga menjadikan masalah bagi sistem yang hanya bisa menyimpan pada julat 0-255. Cara lain adalah melalui pengondisian logis untuk setiap perhitungan yang melibatkan penyebut bernilai 0 agar di beri hasil dengan nilai maksimum.
Lepas dari masalah tekhnis dalam komputasinya, metode pembagian citra mampu menghasilkan citra baru dengan tingkat gangguan atmosfer yang relative lebih ringan. Pembagian citra yang melibatkan saluran-saluran peka pantulan dan serapan klorfil , misalnya saluran hijau di bagi saluran merah, akan lebih mampu menonjolkan variasi kandungan klorofil daripada citra saluran asli karena gangguan atmosfer pada setiap saluran bisa di kurangi (Danoedoro,1989;Jensen,2005; Liu dan Mason,2009).Penjelasan lebih mendalam bisa di lihat pada Bab 7.

5.   Indeks 

Dalam analisis citra digital multispektral,kita akan banyak berurusan dengan indeksspektral. Indeks spektral merupakan suatu operasi global pada citra yang melibatkan dua saluran spektral atau lebih dalam bentuk aljabar citra. Indeks-indeks ini dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,misalnya untuk penonjolan aspek kerepatan vegetasi,penonjolan aspek tanah dan batuan,dan juga penonjolan aspek kekotaan.
Contoh operasi aljabar sederhana untuk ‘ indeks vegetasi adalah Ratio Vegetation Indeks (RVI) dengan rumus:


yang pada dasarnya merupakan bentuk nisbah sederhana (simple ratio). contoh lain adalah Normalised Difference Vegetation Index (NDVI) yang sangat popular dalam berbagai kajian vegetasi dan lingkunngan yang mememerlukan parameter  kerepatan vegetasi. Rumus NDVI adalah sebagai berikut.

Model-model indeks lain yang bertumpu pada aljabar citra bisa dibaca pada Bab 7.


6.  Penggunaan Operator Matematis Lain

Disamping operasi aritmetik, pengolahan jug adapt melibatkan operator matematis,seperti fungsi logaritma natural (In) dan fungsi-fungsi trigonometric (sin, cos, tan, arctan, dan sebagainya). Sama halnya dengan formula terdahulu, penerapan suatu fungsi matematis terhadap citra Xi atau Xj cukup disajikan dengan penulisan fungsi matematis didepanya, misalnya :
Y = ln  (Xi) + ln (Xj)………………………………….(4.15)
Y = sin  (Xi) - cos (Xj)…………………………………(4.16)

7. Standardisasi Saluran Spektral 

Ada lagi jenis operasi aljabar citra yang disebut dengan standarisasi. Operasi ini melibatkan beberapa saluran spektral dan biasanya ditunjukan untuk menghasilkan saluran-saluran individual dalam himpunan data  (dataset) multispektral yang relatif lebih bebas pengaruh/efek bayangan. Secara umum rumus untuk standardisasi saluran-saluran individual adalah sebagai berikut (Lin dan Mason,2009)





dimana Yi adalah citra baru (saluran baru) saluran I yang disandardisasi, Xi adalah citra saluran lama I yang menjadi masukan, dan k adalah jumlah dengan rentang darii 1,2,3,…,hingga ג
Sebagai contoh, kalu kita punya citra multispektral Ikonos dengan 4 saluran spektral (biru/B, hijau/H, merah/M, dan inframerah dekat/ IMD), maka setiap nilai kecerahan disetiap saluran bias distandardisasi dengan cara:

Dengan cara standardisasi ini variasi spektral antarsaluran,khususnya pada tingkat piksel, dapat dipertajam dengan lebih baik karena menggunakan nilai penyebut yang sama.

4.3 VISUALISASI CITRA

Citra digital sebagai data binary sebenarnya tidak disimpan sebagai citra yang sesungguhnya. Telah disebutkan pada bab terdahulu bahwa citra digital, meskipun disimpan dalam berbagai format, tidaklah menggambarkan ruang dalam arti yang sebenarnya .informasi yang jelas ada dalam data ini hanyalah dengan angka kisaran 0-225, kalau data disimpan dalam 8 bit-coding, 0-511, kalau disimpan dalam 9bit-coding 0-1023, kalau disimpan dalam 10bit-cooding dan seterusnya. Bila angka ini dipandang sebagai representasi nilai respon spectral yang tercatat oleh sensor, maka kita dapat mengatakan bahwa data digital ini tersimpan dalam domain spektral.

4.3.1  Tampilan Monokromatik

Nilai kecerahan atau nilai digital ini kemudian dipresentasikan pada layar monitor dengan mengikuti konvensi bahwa nilai sangat rendah disajikan dengan rona sangat gelap atau hitam, sementara nilai sangat tinggi disajikan dengan rona sangat cerah atau putih. Hal ini selaras dengan persepsi mata manusia bahwa sesuatu yang gelap berkolerasi dengan p\tingkat pantulan yang sedikit ( rendah), sendangkan sesuatu yang cerah berkolerasi dengan tingkat pantulan yang banyak (tinggi).
Citra-citra saluran tunggal sering kali ditampilkan dengan representasi tingkat keabuan. Dengan cara ini, mata manusia dengan mudah memahami tingkat pantulan atau pancaran  spektaral objek yang terekam pada setiap piksel. Tampilan semacam ini disebut dengan tampilan monokromatik dengan gradasi keabuan. Hal ini yang sama juga bisa diterapkan pada citra radar yang setiap nilai pikselnya menunjukan tingkat hamburan balik yang dicatat dalam decibel (dB).
Di samping tampilang derajat keabuan, citra salutan tunggal juga dapat disajikan secara monokromatik sesuai dengan spectrum panjang gelombangnya dan mengikuti bidang warna tertentu. Seperti telah diketahui, suatu citra saluran tunggal bisa direkam pada wilayah spectrum panjang gelombang tertentu, misalnya biru ( di dalam julat 0,4-0,5μm), hijau (0,5-0,6μm), merah (0,6-0,7μm), inframerah dekat (0,7-1,1μm), dan seterusnya. Meskipun demikian, setiap saluran ini jika ditampilkan secara monokromatik ( yang merupakan tampilan default), akan terjadi dalam gradasi keabuan. Hal ini sering menjadikan kalangan awan bingung, apa makna saluran ‘biru’,’hijau’,’merah’,dan sebagainya? Jawaban paling tepat atas pertanyaan ini tentu saja adalah bahwa gradasi keabuan tersebut mewaliki nilai kecerahan, nilai kecerahan ini menunjukan pantulan di spectrum termaksud. Jadi kalau suatu citra saluran ” merah” tersaji dengan gradasi keabuan maka rona hitam menunjukan pantulan spectrum merah yang sangat rendah, begitu pula sebaliknya, rona putih mewakili pantulan di spectrum merah yang sangat kuat.
Sistem tampilan layar monitor mampu mengubah kenampakan monokromatik citra berupa gradasi keabuan menjadi tampilan monokromatik lain berdasarkan bidang warna tertentu. Kenampakan ini mirip dengan sebaran citra gradasi keabuan pada transparansi yang disorot dengan sinar biru,hijau atau merah. Misalnya saluran biru yang aslinya berupa tampilan gradasi keabuan disajikan sebagai gradasi biru, dimana warna hitam dan biru tua gelap menunjukan objek-objek dengan nilai pantulan rendah dispektrum biru : sementara biru agag gelap sampai biru agag cerah mewakilimobjek-objek yang memanytulkan sinar biru jauh lebih banyak. Hal yang sama bisa diberlakukan terhadap saluran hijau dan merah yang merupahkan saluran-saluran spectrum tampak, bahkan terdapat saluran-saluran tidak tampak mata, termasuk inframerah dekat, inframerah tengah, inframerah jauh, dan inframerah termal yang sejatihnya tidak punya ”warna” dan tidak bisa diinderah oleh mata manusia. Dengan kata lain sebenarnya citra saluran biru bisa diberi  sebaran warna: biru,hijau atau merah : dan tingkat kecarahan warna yang tersaji tetap mewakili kekuataan pantulan spectral disaluran biru. Begitu juga untuk citra-citra saluran lain. 

4.3.2  Citra Komposit Warna

1. Teori kubus warna


Sejak disekolah dasar dan menengah, kita diajakan tentang pengertian  bahwa kenampakan warna sebenarnya tersusun atas tiga warna dasar, yaitu biru, hijau, dan merah. Warna-warna lain muncul sebagai kombinasi dari warna-warna tersebut, pengertian ini didasari oleh teori kabus warna ( Gambar 4,7) dimana warna merah, hijau, dan biru diletakkan berturut-turut pada sumbu merah, hijau, dan biru. Besarnya nilai di Sepanjang masing-masing sumbu mewakili kekuatan sinyal atau intensitas masing-masing warna, yang kalau dikonversi menjadi sistem digital menjadi 0-255, 0-511, 0-1023 dan seterusnya, tergantung pada kepekaan sensor yang digunakan.
Apabila tidak ada warna biru maka kombinasi intensitas warna merah maksimum dengan intensitas warna hijau maksimum akan menghasilkan warna kuning. Jika warna merah tidak ada maka kombinasi intensitas warna hijau maksimum dengan intensitas warna biru maksimum akanmenghasilkan warna cyan. Kalau warna hijau yang tidak ada maka kombinasi intensitas warna merah maksimum dengan intensitas warna biru maksimum akan menghasilkan warna magenta. Penyusunan warna semacam ini disebut dengan penyusunan warna aditif, dimana warna-warna primer (biru, hijau, dan merah) menjadi kompenen penyusunannya.
 



Berdasarkan teori kubus warna (RGB colour cube) ini, cita beberapa saluran dapat disajikan pada layar monitor dan kemudian dicetak.Satu himpunan data (dataset) citra multispektral dapat terdiri atas tiga saluran, yang masing-masing dapat diberi warna biru, hijau, dan merah. Namun tidak jarang dijumpai, satu dataset citra hiperspektral bisa terdiri dari 220 saluran spektral, dan secara sederhana hanya tiga di antaranya yang dapat dipilih untuk menyusun suatu citra komposit, yaitu citra berwarna yang tersusun atas 3 saluran, yang masing-masing diberi warna biru, hijau, dan merah.
Citra komposit warna asli tersusun atas citra saluran biru, hijau, dan merah, yang masing-masing diberi warna biru, hijau, dan merah. Dengan susunan atau komposisi warna seperti ini maka kenampakan citra menjadi sama seperti yang kita lihat sehari-hari, di mana rumput berwarna hijau cerah; pepohonan tampak hijau lebih gelap; tanah berwarna kuning cokelat atau cokelat kemerahan, tergantung pada jenisnya; air berwarna biru gelap (dalam), biru-cyan cerah (dangkal jernih), atau cyan cerah hingga kecokelatan cerah (keruh).
Citra komposit warna semu standar (standard false colour) tersusun atas saluran inframerah dekat, merah, dan hijau, yang masing-masing diberi warna berturut-turut merah, hijau, dan biru. Dengan komposit warna semacam ini, rumput tampak merah mudah cerah hingga magenta, pepohonan daun lebar tampak merah agak gela, sementara hutan pinus tamapk cokelat gelap kemerahan, tanah berpasir dengan warna cokelat kelabu menjadi kebiruan muda, sedangkan tanah berwarna cokelat atau cokelat merah menjadi terlihat kehijauan. Air jernih berwarna biru tua hingga kehitaman, sementara air keruh berwarna biru muda keputihan.Apayang tampak pada citra komposit warna semua standar sangat serupa dengan kenampakan pada foto uara inframerah berwarna semu (false colour areial photographs).
Dengan kombinasi yang tersusun atas tiga saluran, satu dataset citra multispektral dengan banyak saluran, misalnya Quickbird, Ikonos, atau ALOS AVNIR-2 (empat saluran:hijau, merah, inframerah dekat), SPOT-5 (empat saluran hijau, merah, inframerah dekat, dan inframerah tengah), dan Landsat TM/ETM+ (tujuh saluran: dari biru hingga inframerah termal) dapat dibentuk menjadi banyak citra komposit warna. Masing-masing kombnasi akan menonjolkan kenampakan sesuai dengan karakteristik atau keunggulan saluran spektral penyusunnya. Misalnya komposit warna asli akan lebih sesuai untuk melihat perbedaan warna atap bagunan (khususnya untuk citra resolusi spasial tinggi) dan juga kekeruhan/kedalaman perairan danau dan pantai. Komposit warna semu standar bagus untuk perbedaan darat dan laut, dan perbedaan kedalaman dan kekeruhan perairan meskipun tidak sebagus citra komposit warna asli. Citra komposit warna inframerah dekat-inframerah tengah- merah  (yang diberi warna berturut-turut merah, hijau dan biru) akan menonjolkan beda daratan dan perairan. Objek-objek permukaan yang basah/ lembap, perbedaan jenis vegetasi, serta tanah, dan batuan. Begitu seterusnya kalau kita menggunakan saluran-saluran lain.
Penyusunan warna-warna lain berdasarkan merah, hijau, dan biru (red, green, and blue atau RGB) berlaku untuk sinar. Artinya, kita berasumsi bahwa setiap citra saluran tertentu yang dijadikan masukan, dalam penyusunan komposit warna bersifat transparan dan ‘ditembus’ oleh warna penyusunannya dalam bentuk sinar merah (R), hijau (G), dan biru (B).  Inilah yang disebut dengan dengan penyusunan warna aditif.Kalau yang kita padukan adalah tinta atau cat bukan sinar maka penyusunan warna yang terjadi adalah bersifat subtraktif.Pada penyusunan warna secara subtraktif, komponen-komponen warna penyusun bukan merah, hijau, dan biru (RGB) melainkan cyan, magenta, dan kuning (cyan, magenta and yellow, CMY).Dengan CMY (lihat gambar Kubus Warna RGB), warna biru pada hasil pencetakan dibentuk oleh tinta magenta dan cyan.Warna hijau dibentuk oleh tinta cyan dan kuning, sementara warna merah dibentuk oleh tinta magenta dan kuning.Warna hitam secara teo-retis dibentuk oleh cyan, magenta, dan kuning, tetapi hasilnya justru menjadi cokelat kehijauan gelap sehingga dalam praktek akhirnya di-gantikan oleh tinta hitam tersendiri. Itu sebabnya mesin pencetak (prin-ter) tidak perna menggunakan dasar pembentukan warna RGB, melain-kan CMY+K (K adalah hitam/black) untuk menhasilkan warna-warna lain.

2. Teori Warna IHS (Intensity-Hue-Saturation)

Teori warna dengan kubus RGB tidak dapat menjelaskan seberapa murni dan seberapa jenuh setiap komponen warna karena dalam kubus itu setiap warna yang diwakili oleh sumbu x,y, dan z hanya menunjukkan tingkat intensitas warnanya saja. Untuk mengatasi kelemahan ini, teori warna lain digunakan, yaitu yang disebut dengan IHS (Intensity-Hue-Saturation).
Ketiganya adalah komponen-komponen warna yang saling independen.Intensity atau intensitas merupakan fungsi dari tingkat intensitas kemerahan, kehijauan, dan kebiruan, setiap yang ditunjukan oleh kubus warna RGB.Hue adalah komponen warna untuk menunjukkan ‘warna’ itu sendiri, dalam hal ini, merah, hijau, dan biru.Saturation merupakan ukuran untuk menunjukkan seberapa murni/jenuh warnanya, dikaitkan dengan pencampuran oleh warna putih. Semakin pucat warnanya (karena tercampur putih), semakin rendah saturation-nya .Semakin rendah intensitasnya, semakin gelap mendekati hitam objeknya.Semakin tinggi intensitasnya di suatu hue, misalnya merah, maka semakin objeknya.



Gambar 4.8 Skema warna menurut teori Intensity-Hue-Saturation (IHS) (Sumber: Gao, 2010)
a         
 a. Transformasi IHS Berdasarkan RGB
Ada beberapa pandangan dan teori tentang nilai kuantitatif IHS jika dikaitkan dengan nilai RGB . Berikut seberapa rumusan komponen warna dalam teori IHS menurut Jensen (2005), Liu dan Mason (2009), dan Gao (2010). Berdasarkan teori transformasi warna ini, nilai I,H, dan S suatu citra yang setidaknya tersusun atas tiga saluran RGB adalah sebagai berikut.
 

Disamping itu, Gao (2009) merumuskan dengan cara yang sedikit berbeda, yaitu:
 
Kemudian, nilai Hue (H) dihitung dengan rumus berikut.
 

Rumus-rumus diatas tentunya tidak hanya berlaku pada sistem multispektral yang terdiri dari tiga saluran RGB saja.Pengertian RGB di sein lebih tepat mengacau pada saluran-saluran ‘yang diberi warna’ merah, hijau, dan biru. Oleh karena itu, apabila citra masukannya adalah inframerah dekat (diberi warna R), inframerah tengah (diberi warna G), dan inframerah jauh (diberi warna B), maka rumus I, H, dan S juga memasukkan nilai-nilai piksel (mengikuti prinsip aljabar citra) pada saluran inframerah dekat, inframerah tengah, dan inframerah jauh.
a          b.  Dari RGB ke IHS Kembali ke RGB

Sekali citra-citra baru berupa Intensity,Hue, dan Saturation terbentuk maka ketiganya dapat dijadikan masukan dalam penyusunan komposit warna, dengan mengembalikannya ke RGB. Cara paling mudah untuk mengembalikannya adalah memberi warna merah pada citra I, hijau pada H, dan biru pada S. Penyusunan komposisi melalui transformasi RGB-HIS-RG ini kadang kala dapat menghasilkan komposit warna yang bagus dan mudah diinterpretasi, namun kadang kala juga menghasilkan citra yang lebih sulit untuk dimengerti.
3. Parameter Statistik untuk Kualitas Citra Komposit
Dengan banyaknya kemungkinan untuk dapat menghasilkan citra komposit berdasarkan jenis masukan saluran spektral dan cara representasi warnanya (mengikuti model RGB atau IHS), kemudian timbul pertanyan: adakah suatu parameter yang dapat digunakan untuk menilai suatu citra komposit lebih baik atau lebih buruk darpada yang lain? Sebenarnya ukuran semacam itu, kalau pun ada, tidak dapat digeneralisasi begitu saja, mengingat bahwa kegunaan citra komposit tidak hanya untuk satu macam aplikasi saja sehingga konsep kejelasan kenampakan yang dianalisis.Di samping itu, persepsi warna dan pola yang muncul pada citra juga bisa berbeda-beda untuk penafsir atau analis yang berbeda latar belakangnya.Meskipun demikian, mengacu kembali ke prinsip dasar statistik citra, parameter statistik dapat digunakan untuk membantu menentukan kualitas citra komposit, berdasarkan saluran-saluran penyusun, yaitu melalui Optimun Index Factor (OIF), yang dikembangkan oleh Chavez et al. (1982).
Optimun Index Factor (OIF)
Chavez et al. (1982) mengembangkan suatu parameter untuk menilai kualitas citra komposit secara statistik.Parameter ini disebut dengan Optimun Index Factor (OIF). Misalnya terdapat citra dengan n saluran maka nilai OIF ini dihitung untuk sembarang kombinasi 3 saluran sebagai berikut (Jensen,2005):



dimana sk adalah simpangan baku untuk saluran k, dan abs (rj) adalah harga mutlak (dianggap positif) untuk koefisien korelasi antara sembarang pasangan 2 saluran dari ketiga saluran tersebut.

Mengacau kembali ke dasar-dasar statistik citra maka nilai OIF ditentukan oleh dua hal utama. Pertama adalah nilai simpangan baku seluruh piksel dalam seluruh citra yang dilibatkan.  Kedua adalah besarnya koefisien kolerasi  antar saluran yang dilibatkan dalam penyusunan komposit 
. semakin beragam nilai piksel dalam suatu saluran, semakin besar pula nilai simpangan bakunya. Apabila tiga saluran masukan semua sangat beragam nilainya (yang berarti menunjukkan kenampakan yang sangat bervariasi) maka nilai pembilang menjadi besar dan berpotensi menghasilkan nilai OIF yang besar. Di sisi lain, apabila tiga saluran yang dilibatkan tersebut tidak saling berkorelasi (ditunjukkan oleh nilai r yang rendah untuk semua pasangan) maka nilai penyebut akan cenderung kecil dan hal ini akan berpotensi untuk menghasilkan nilai OIF yang besar. Semakin besar nilai OIF, semakin bagus kualitas citra kompositnya secara statistik.

Contoh berikut bias memberikan gambaran sederahana tentang perhitungan OIF. Misalkan ada citra multispektral hipotetik yang terdiri dari 5 saluran spektral  B1, B2, B3, B4, dan B5. Nilai simpangan baku untuk setiap saluran k adalah sebagai berikut SB1 = 12.9, SB2= 14.7, SB3 =14.1, SB4= 29.2 dan SB5 = 27.5. Besarnya  koefisien korelasi antar saluran tersaji dalam bentuk matriks korelasi pada tabel 4.3. Kelima  saluran tersebut dapat disusun menjadi citra komposit warna sebanyak enam kombinasi, yaitu B1-B2-B3, B1-B2-B4, B1-B2-B5, B1-B3-B4, B1-B3-B5, dan  B1-B4-B5. Dari rumus OIF, tidak ada perbedaan nilai kualitas citra komposit yang dihasilkan apabila posisi salah satu atau seluruh saluran dipertukarkan dalam pemberian warnanya, misalnya B1 diberi biru atau hijau ataupun merah. Besarnya nilai OIF untuk masing-masing kombinasi tersaji pada tabel 4.4
Tabel 4.3 Matriks korelasi antar saluran citra hipotetik

B1
B2
B3
B4
B5
B1
1.0
B2
0.89
1.0
B3
-0.52
0.86
1.0
B4
-0.37
-0.68
-0.39
1.0
B5
-0.44
-0.66
-0.75
0.75
1.0

Bagian yang diarsir abu-abu menunjukan bahwa nilai koefisien korelasinya sama untuk pasangan yang sama, missal B3-B4 dengan B4-B3

Tabel 4.4 Hasil perhitungan OIF untuk enam saluran citra hipotetik
No
Kombinasi
Optimum Index
saluran
Factor (OIF)
1
B1,B2,B3
18,37
2
B1,B2,B4
29,28
3
B1,B2,B5
27,69
4
B1,B3,B4
43,91
5
B1,B3,B5
31,87
6
B1,B4,B5
44,90

Hasil tersebut menunjukkan bahwa pasangan atau kombinasi saluran terbaik untuk komposit warna citra multispektral hipotetik adalah B1,B4,B5 (OIF = 44,90), diikuti oleh B1, B3 B4 (OIF = 43,91); sedangkan kombinasi yang paling buruk adalah B1, B2, B3 (OIF = 18,37). Setiap kombinasi ini akan memberikan nilai OIF yang sama meskipun posisi setiap saluran dalam urutan RGB diblak-balik. Perlu diperhatikan di sini bahwa meskipun secara statistik perhitungan OIF ini logis dalam menunjukkan kombinasi saluran terbaik, dalam kenyataan tidak selalu demikian. Mengingat bahwa rumus OIF disusun oleh parameter simpanagan baku dan koefisien korelasi antarsaluran maka citra yang mengalami gangguan spektral tertentu seperti banyak bad lines,noise (salt and pepper), atau berkabut (hazy) akan membentuk komposit dengan nilai OIF tinggi. Oleh karena itu, penilaian visual tetap diperhatikan setelah pemeringkatan melalui OIF dilaksanakan (lihat gambar 4.9).Ada kemungkinan bahwa kombinasi saluran dengan OIF di peringkat dua atau tiga justru yang lebih baik.
4.3.3 ‘Look-up Table’ (LUT)
Citra saluran tunggal biasa ditampilkan dalam gradasi keabuan (grey scalen), sementara citra komposit selalu disajikan dalam bentuk komposit warna dengan menggunakan kombinasi RGB atau yang lain, misalnya IHS. Meskipun demikian, ada beberapa pertimbangan lain dalam tampilan citra, terutama ketika perbedaan antara tingkat bit-conding citra masukan dengan tingkat bit-conding layar monitor. Disamping itu, kadang kala efektivitas tampilan untuk suatu fenomena bias meningkat ketika citra tidak disajikan dalam gradasi keabuan, melainkan dengan gradasi warna tertentu.
 

  1.         LUT untuk Gradasi Keabuan (Grey Scale)
Hampir semua paket pengolah citra selalu menggunakan asumsi bahwa masukan citra memiliki 256 tingkat keabuan. Bila nilai kecerahan ini kita sebut BV (brightness value) maka dalam program selalu dinyatakan bahwa BV input berkisar 0 sampai 255. Masukan nilai dengan julat 256 tingkat keabuan inin dapat ditransformasi menjadi 5, 16, 32, 64, maupun 256 tingkat keabuan, tergantung pada kemampuan layar dan kebutuhan. Untuk keluaran dengan tingkat 256 tingkat keabuan, transformasinya adalah 1:1, sedangkan untuk keluaran yang lebih rendah tingkat keabuannya, transformasinya dapat diatur melalui pengelompokan RV.
L
  2.   LUT untuk Warna-warna lain     

Teknik pseudo colour digunakan untuk menonjolkan perbedaan nilai spektral yang tipis, tanpa melakukan perentangan kontras. Dengan  pseudo colour, piksel-piksel bernilai ‘rendah’ diberi warna biru, sedangkan nilai ‘tengah’ diberi warna hijau, dan nilai ‘tinggi’ diberi warna merah. Untuk monitor 8 bit, nilai terendah, yaitu nol, diberi warna hitam; warna biru untuk nilai 1,2,3,..; warna hijau untuk nilai 128, 129, 130,…; dan akhirnya warna merah untuk nilai 255. Grdasi semacam ini dapat pula diterapkan dengan memberikan kombinasi warna yang berbeda, misalnya dari biru gelap, ungu, magenta, merah, pink, sampai dengan putih.
Disamping itu  masih banyak lagi teknik presentasi piksel dalam warna yang semuanya lebih mengandalkan perbedaan warna berulang untuk setiap selang nilai tertentu, misalnya setiap 8 tingkat kecerahan, 16 bit tingkat kecerahan, dan sebagainya. Beberapa paket perangkat lunak untuk pengolahan menyediakan pilihan LUT yang cukup banyak.
 3. LUT untuk citra komposit warna

Dalam penyusunan citra komposit warna, setiap saluran masukan pada umumnya mempunyai tingkat bit-coding minimal 8 atau setara dengan julat 0-255. Apabila suatu citra komposit tersusun atas 3 saluran yang masing-masing mempunyai kedalaman informasi piksel 8 bit (28 tingkat kecerahan , atau 256 gradasi keabuan) maka citra komposit yang berbentuk akan mempunyai 28x3 = 224 atau setara dengan sekitar 16,77 juta warna. Mata manusia kadang kala tidak mampu membedakan sekian banyak warna dan gradasi. Di samping itu, ada kalanya layar monitor dan graphic card diatur pada tingkat bit yang berbeda, bahkan sampai hanya 8 bit saja. Oleh karena itu, diperlukan kiat untuyk bisa menyajikan informasi dengan kedalaman yang seharusnya 24 bit menjadi 8 bit saja
Cara termudah untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan komposit (pemampatan) bit tiap saluran. Kompresi sebenarnya adalah suatu proses kebalikan dari perentangan kontras (contrast stretching). Paket pengolah citra Alexander yang menggunakan computer berarsitektur RISC (Reduced Instruction Set Computing)     32 bit BBC- Archimedes di awal 1990-an adalah contoh program yang memanfaatkan teknik kompresi bit seperti ini. Misalnya, saluran 1 dimampatkan menjadi 3 bit, demikian pula saluran 2.Kemudian saluran 3 dimampatkan menjadi 2 bit. Dengan demikian, untuk menyajikan paduan warna pada layar, dibutuhkan 3+3+2 =8 bit sistem penyajian layar. Alternatif tampilan dapat dibutuhkan dengan pembalikan urutan pemampatan bit (2-3-3 atau 3-2-3, dan seterusnya).
Kompresi ini dapat diterapkan setelah informasi statistik citra pada tiap saluran telah diketahui.Pada kompresi rentang nilai yang sebelumnya 0-255 dijadikan 0-7 (3 bit) atau 0-3 (2 bit).Tentu saja, teknik kompresi membawa konsekuensi hilangnya informasi spektral objek pada tiap saluran. Oleh karena itu, dibutuhkan pemilihan nilai ambang bawah dan atas dalam histogram yang akan dikompresi.
Teknik lain, yang masih juga merupakan kompresi citra, adalah penyusunan fungsi matematis ketiga saluran untuk menghasilkan citra baru, yaitu citra komposit. Melalui fungsi matematis ini, kemampuan layar yang hanya 8 bit tidak perlu dipaksa untuk berfungsi maksimal, tetapi sipemrogram atau pengguna dapat mengatur keluaran nilai piksel maksimum yang baru. Sebagai contoh, tiga saluran (1, 2 dan 3) yang masing-masing memiliki julat 0-255 akan dipadukan menjadi citra komposit warna. Sebagai langkah awal, setiap saluran dimampatkan menjadi citra baru dengan julat 0-5. Selanjutnya citra komposit adalah keluaran yang dihasilkan oleh formula:
Citra komposit = 36x (saluran_1) + 6x (saluran_2) + saluran_3
Dimana:
Saluran_1 = inframerah dekat
Saluran_2 = merah
Saluran_3 = hijau
Melaui bantuan fasilitas Look-up Table, tiap niali diberi warna yang sesuai dengan kombinasi yang diperhitungkan muncul. Misalnya, objek air akan bernilai 1 pada saluran_1, 3 pada saluran_2, dan 4 pada saluran_3. Hasil perhitungan memberian nilai 36x1 + 6x3 + 1x4  = 58 yang di beri warna biru kehijauan agak cerah. Objek vegetasi akan bernilai 4 pada saluran 1,1 pada sal2, dan 2 pada sal3,sehingga nilai akhirnya adalah 144 + 6 + 2 = 152 yang kemudian di beri warna merah. Kemungkinana maksimum dari formula ini adalah 215, yang di beri warna putih untuk menyataan bahwa objek ini mempunyai nilai maksimum pada saluran 1 (= maksimum merah), nilai maksimum pada saluran 2 ( maksimum hijau), dan nilai maksimum pada saluran 3 (maksimum biru). Awan misalnya, dengan sendirinya berwarna putih.

4.4 SISTEM PENGOLAH CITRA

Saat ini terdapat banyak sekali perangkat lunak pengolah citra yang beredar di pasaran.Hal ini berbeda jauh di bandingkan kondisi sebelum 1990-an, dimana sebagian besar system pengolah citra digital penginderaan jauh di jalankan pada platform atau system operasi untuk komputer besar, terutama mainframe. Berkembangnya komputer personal(PC) pada decade 90-an dan kemudia laptop pada decade pertama abad ke 21 telah  membuat system pengolah citra pengineraan jauh dapat di jangkau oleh siapa saja. Hal ini juga tidak lepas dari semakin banyaknya system berbasis open source dan garis, sehingga kesan kemewahan perangkat lunak pengolah citra pada decade 80-an menjadi tak tersisa. Di sisi lain segala kemudaan itu di ikuti dengan semakin mudahnya cara operasi dan pemprosessan sehingga kalangan awan tanpa pengalaman yang memadai dan latar belakang penginderaan jauh pun dapat mengolah citra dengan memberikan hasil berupa peta-peta turunan, meskipun dari aspek kualitas masi banyak ha yang perlu di pertanyakan.
Dari sisi funsionalitasnya secara garis besar terdapat tiga jenis system pengoah citra penginderaan auh yang banyak beredar  di pasaran. Jenis pertama adalah system pengolah citra yang memang di dedikasikan untuk analisis citra. Fasilitas lain, khususnya yang terkait dengan analisis spasial data bukan penginderaan jauh sangat terbatas atau bahkan tidak ada. Jenis kedua adalah system pengolah citra yang bersifat tambahan, dengan kemampuan terbatas, yang di berikan dalam suatu perangkat lunak SIG. jenis ketiga adalah system  pengolah citra yang terintegrasi dalam satu paket dengan SIG, khususnya raster. Uraian berikut memberikan gambaran ringkas masingmasing kategori.
Perangkat lunak yang di khususkan pada pengolahan citra penginderaan auh cukup banyak di pasaran. ENVI (Environment of Visualising Image, Gambar 4.10)adalah salah satu jenis perangkat lunak yang paling popular saat buku ini di tulis., dengan kelengkapan fungsi analisis yang sangat baik untuk ukuran system berbasis Microsoft Windows. ENVI di produksi oleh RSI ( Research Systems Institute) Inc. Di Amerika Serikat dan di sajikan secara terintegrasi dengan modul pemprograman IDL (Interactive Data Language). Perangkat lunak ini mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengelola data berukuran cukup besar, baik dalam hal ini dimensi (ukuran baris kolom) citra maupun dalam jumlah saluran (hingga hiperspektral).
 


Gambar 4.10 tampilan perangkat lunak ENVI
Fasilitas dasar ENVI yang menonjol adalah kemampuan membaca dan mengonversi data (impor ekspor) penginderaan jauh dalam berbagai format, melakukan pemotongan citra (membuat subimage) baik dalam hal ukuran baris-kolom maupun jumlah saluran dalam berbagai ukuran (peta, citra maupun pilihan baris kolom secara bebas). Fasilitas lain adalah kemampuan melakukan koreksi dan kalibrasi citra, baik secara geometric maupun radiometric. Kelengkapan koreksi dan kalibrasi radiometric termasuk unggul di baandingkan perangkat lunak lain. Klasifiasi multispectral dan analisis  hiperspektral merupakan fasilitas utama yang di sajikan oleh ENVI , lengkap dengan menu-menu post-classificationprocessing yang tidak terkait dengan fungsi-fungsi SIG. visualisasi dan analisis data topografi juga di sediakan , di lengkapi dengan modul analisis radar.

ENVI menawarkan fleksibilitas dalam pengolahan citra melalui IDL, dimana pengguna dapat memprogram sendiri modul yang di inginkan., kemudian di integrasikan dengan menu yang ada.Model-model dan formula analisis citra dapat di kembangkan dengan pemprograman melalui IDL. Kekurangan utama ENVI adalah kemampuan untuk mengintegrasikan analisis citra spectral data spasial lain. Di samping itu fasilitas presentasi kartografis hasil analisis citra khususnya hasil klasifikasi masih sangat terbatas.

Perangkat lunak dengan fungsi yang hampir serupa dengan ENVI adalah ER-Mapper (Earth Resource Mapper) yang pada awalnya di kembangkan di Australia.ER-Mapper menawarkan fleksibilitas dalam visualisasi yang dapat di lakukan melalui langkah-langkah yang bervariasi.Kemampuannya untuk korekai geometric dan penyusunan mozaik citra secara digital termasuk unggul. Fitur utma yang paling menonjol pada perangkat lunak ini adalah kecepatan pemprosesan dan tampilan yang di sertai dengan penyimpan berkas yang sangat efisien , yaitu melalui penyimpanan definisi turunan data yang di sebut algoritma (*.alg). berkas algoritma hanya menyimpan definisi dari proses yang di lakukan dan di simpan dalam bentuk teks (ASCII). Ketika berkas algoritma ini di aktifkan ( misanya untuk display/tampilan), proses pun di jalankan oleh program dengan kecepatan yang tinggi.

ER-Mapper menawakan modul-modul seperti yang di berikan oleh ENVI. Keunggulannya di bandingkan ENVI adalah kemampuan untuk menerapkan klasifikasi citra melalui feature space (ruang spektral) dan bukan melalui image space (ruang citra), seperti yang biasa di lakukan dengan perangkat lunak lain. Dengan demikian, kelas-kelas dapat di pilih berdasarkan pengetahuan atas posisi objek dalam ruang spectral multidimensional.Meskipun demikian, sebagai perangkat lunak pengolah citra, ER-Mapper juga mempunyai kelemahan dalam penyajian karto-grafis hasil klsifikasi maupun citra kompositnya.Di samping itu kemampuan untuk bekerja dengan data spasial bukan penginderaan jauh pun sangat terbatas.

Kemampuan pengolahan citra yang terbatas di miliki oleh perngkat-perangkat lunak SIG berbasis vector , seperti MapInfo dan ArcView serta ArcGIS. Pada perangkat-perangkat lunak ini fasilitas pengolahan citra hanya tampilan (display) citra komposit dari sejumlah pilihan saluran spectral (tidak hanya tiga) dengan fasilitas penajaman; kecuali ArcGIS yang menyajikan fasilitas klasifikasi multispectral sederhana.

Ada beberapa perangkat lunak yang menyediakan fasilitas terintegrasi antara pengolahan citra dan SIG. Modul-modul SIG yang di sediakan pada umumnya berbasis model data raster. Hal ini sangat wajar karena pada dasarnya logika analisis spasial peta raster dan citra digital hampir sama, dimana citra multispectral di pandang sebagai data multivariate. Perangkat-perangkat lunak ini misalnya adalah ERDAS Imagine , Idrisi, dan ILWIS.

ERDAS (Earth Resource Data Analysis System, Gambar 4.11) Imagine dapat di sebut sebagai perangkat lunak dengan fasilitas pengolah citra yang sangat lengkap dan SIG berbasis raster yang  juga lebih dari memadai, kemampuan konversi datanya dari dank e perangkat lunak lain juga sangat bagus. Imagine menawarkan fleksibilitas pengolahan citra dengan dokumentasi dan fasilitas bantuan yang sangat lengkap melalui ERDAS Field Guide. Di bandingkan dengan ENVI dan ER-Mapper, kemampuan penangan data citra berukuran besar pada Imagine terasa lebih menonjol. Imagine memberikan informasi statistic yang sangat lengkap dalam proses klasifikasi dan banyak di pakai sebagai referensi dalam berbagai buku teks. Imagine juga menawarkan fleksibilitas  pada pengguna untuk mengembangkan spatial modeler melalui swmacam diagram alir berisi data masukan dan  proses yang harus di jalankan sehingga seluruh rangkaian proses (seperti batch file di DOS) di jalankan secara otomatis.


Gambar 4.11 tampilan menu dn citra yang sedang di proses dengan perangkat lunak ERDAS Imagine versi 8,7

Setiap proses pengolahan dengan Imagine memberikan opsi pada pengguna/analis ,apakah akan menyimpan data dengan format tertentu ,yang kadang kala tidak di sajikan secara jelas pada perangkat lunak lain. Sebagai contoh : hasil proses suatu penajaman atau pemfilteran, apakah akan di simpan sebagai unsigned 8 bit (0-255),atau integer atau data rill (floating nilai pecahan). Proses pengolahan yang di pandu dengan dialog box sangat membantu dan membimbing pengguna atau analis dalam mengambil keputusan dan mempelajari proses berpikir analis citra dalam perangkat lunak tersebut.
Meskipun fasilitas analisis spasial (SIG) dalam Imagine cukup baik, ada satu hal yang dengan cermat perlu di pegang oleh pengguna atau analis, yaitu bahwa setiap label di wakili dengan angka (nilai pixel) yang pada dasarnya memang merupakan model tipikal SIG berbasis raster. Di samping itu kurangnya fasilitas konversi data vector ke raster dan model – model statistic spasial pendukung juga merupakan catatan penting. Lepas dari itu, kemampuan analisis spasial melalui konteks atau ketetanggaan merupakan keunggulan Imagine di bandingkan kebanyakan perangkat lunak pengolah citra dan SIG terintegrasi lainnya.
Agak berseberangan dengan ERDAS Imagine, ILWIS (Integrated Land and Water Informatiaon System, Gambar 4.12) menawarkan modul SIG berbasis raster (dan sekaligus vector) yang lebih lengkap, dengan fasilitas pengolah citra yang relative sedikit; meskipun kemampuan pengolah citranya lebih unggul di bandingkan kebanyakan SIG manapun juga. ILWIS pada awalnya di kembangkan di ITC, Negeri Belanda , berdasarkan proyek pengelolaan DAS di Sumatra Selatan ( di sebut dengan Sumatera project) dan di Amerika Selatan. Saat ini ILWIS sudah beeralih ke domain open source dan dapat di download secara gratis di WWW.52North.org.
Gambar 4.12 tampilan perangkat lunak ILWIS ketika di gunakan untuk analisis citra multispectral dan sekaligus permodelan geostatistik untuk interpolasi curah hujan dengan metode kriging.

ILWIS menunjukan kemampuan mengintegrasikan pengolahan citra dan SIG raster melalui fasilitas kalkulator peta(Map calculator). Melalui toolbox approach, ILWIS tidak membedakan peta dan citra secara berseberangan, kecuali dalam properties yang menyatakan domain datanya. Operasi-operasi dalam kalkulasi peta berbasis dalam kombinasi aljabar peta/citra, pengondisian logis, dan pengaitan atribut dengan nilai piksel (raster) ataupun polygon(vector). Dalam pengolahan citra, keterbatasan ILWIS terutama dalam menu jadi untuk pemprosessan (koreksi dan kalibrasi radiometric) yang tidak terlalu lengkap, meskipun hal ini bisa dilakukan dengan bantuan kalkulator peta, begitu juga fasilitas uji akurasi serta analisis citra lanjut untuk serta seperti untuk data hiperspektral dan radar.
Kemampuan ILWIS yang paling menarik adalah dalam mengintegrasikan data vektor, data raster, dan citra digital.ILWIS mempunyai menu untuk masukan data vektor melalui fasilitas digitisasi-baik dengan meja digitiser.Maupun on-screen, menyusun topologi hingga menjadi dta vektor tingkat tinggi (termasuk untuk analisis jaringan, misalnya orde sungai dalam DAS).Perangkat lunak ini juga mampu melakukan analisis geotastistik dari data vektor titik/garis ke data raster kontinu, untuk diintegrasikan dengan data citra. ILWIS sangat bermanfaat untuk post-classification processing, misalnya mengubah penutup lahan menjadi penggunaan lahan melalui integrasi dengan SIG. Di samping itu, kemampuan lay-out petanya termasuk paling bagus dibandingkan dengan perangkat lunak pengolah citra lainnya. Meskipun belum sebagus perangkat lunak SIG vektor seperti MapInFo maupun ArcGIS.
Hingga saat buku ini diterbitkan, kelemahan utama ILWIS ialah pada belum stabilnya perangkat lunak apabila dijalankan pada platfrom selain windows  XP. Di samping itu, struktur datanya pun dalam versi yang baru relatif rumit dan kurang nyaman bagi pemula, meskipun setelah pemakaian cukup lama akan menimbulkan ketertarikan yang mendalam untuk eksplorasi lebih jauh. Untuk [engolahan citra, ILWIS juga kurang cocok untuk proyek-proyek besar dengan ukuran data yang sangat besar karena kecepatan pemrosesnnya tidak sebaik ENVI, ER –Mapper dan ERDAS Imagine.
Perangkat lunak lain yang mempunyai kemampuan integrasi pengolah citra dan SIG berbaris raster adalah Idrisi (Gambar 4.13). Nama idrisi diambil untuk menghormati AL-Idrisi, ahli geografi arab di abad ke-13. Idrisi awalnya dikembangkan oleh departemen geografi di Univesitas Clark, Amerika serikat, dengan provesor Ronald Eastman sebagai project leader-nya.Idrisi sangat cocok digunakan pada proyek-proyek relatif kecil, meskipun kemampuan analisis spasialnnya bisa dikategorikan unggul dan merupakan proyek eksperimen yang di lakukan oleh peneliti-peneliti besar di amerika. Dari segi harga, idrisi merupakan yang paling murah dibandingkan perangkat lunak pengolah citra lainnya, kecuali dibandingkan ILWIS dan perangkat lunak open source lain.


Gambar 4.13 Tampilan menu perangkat lunak idrisi Andes (versi 15.0) yang digunakan untuk analisis fragmentasi dengan SIG berbaris raster, berdasarkan citra landsat ETM+ yang diproses dengan klasifikasi multispectral

Sebagai perangkat lunak pengolah citra dan SIG-raster yang terintegrasi, idrisi menawarkan fasilitas dua sistem tersebut dengan proporsi yang kurang-lebih sama. Kemampuan pengolah citra idrisi lebih baik dibandingkan ILWIS, bahkan terdapat fasilitas untuk analisis hiperspektral serta klasifikasi berbaris objek melalui teknik segmentasi citra. Dokumentasi me-lalui fasilitas bantuan pada modul/menu idrisi tersedia secara lengakap dan sangat bermanfaat, trmasuk referensi teoretis yang digunakan, misalnya jurnal ilmiah yang digunakan sebagai basis pengembangan program.
Dengan idrisi, modul-modul SIG berbaris raster secara umum bisa dijalankan dengan dua cara:melalui menu atau kalkulasi peta berbasis aljabar citra/ peta. Di samping itu, terdapat modul-modul aplikasi SIG yang yang spesifik, misalnya analisis fragmentasi untuk aplikasi ekologi bentang lahan dan juga pemodelan perubahan penggunaan lahan, baik dengan pendekatan rantai markov maupun cellular automata. Kesemuanya terkait dengan data yang di persiapakan melalui analisis citra. Modul lain yang serupa dengan ILWIS, namun dengan kestabilan sistem yang lebih baik, adalah pemodelan spasial berbasis data raster hidrologi dan erosi, misalnya. Meskipun demikian, fleksibilitas untuk analisis data di luar menu tidak sebaik perangkat lunak pengolah citra dan SIG berbasis raster lainnya.

Berikut ini contoh beberapa perangkat lunak, baik yang bersifat komersial, gratis, maupun milik pemerintah, dengan kemampuan analisis data spasial. Evaluasi diutamakan pada kemampuan untuk pengolahan citra dan integrasinya dengan SIG. Tabel 4.5 berikut merupakan modifikasi atas jensen (2005).

Tabel 4.5 beberpa perangkat lunak pengolah citra penginderaan jauh dan karakteristik fungsinya
Nama system
Platfrom
Kriteria kinerja
Prapemrosesan
Display dan
penajaman
Ekstraksi
informasi
Tematik
Softcopy
photogrammetry
Lineage
Image / Map
Cartography
SIG
Integrasi PJ dan
SIG
ACORN
Windows
AGIS
Windows
O
Applied Analysis
Windows
o
O
Subpixel Processing
ArcGIS Image and
Windows /
o
O
Feature Analyst
Unix
ATCOR2
IDL
o
AutoCAD2004
Win/Unix
o
BAESystem SOCET Set
Win/Unix
Blue Marble
Win/Unix
EarthView
Windows
eCognition
Windows
o
O
EIDITIC Earthscope
Windows
o
o
o
ENVI
W/U/M
o
o
o
O
/IDL
DIMPLE
Mac
o
Dragon
Windows
ERDAS Imagine
Windows /
Unix
ER Mapper
Windows /
o
O
Unix
FullPixel Search
Mac
GENASYS
Windows /
Unix
GLOBAL Lab Image
Windows
o
GRASS
Windows /
Unix
IDRISI
Windows
ILWIS
Windows
ImagePro
Windows
Intelligent Lib-rary
Unix
Solution
Intergraph
Windows /
Unix
MapInfo
Windows/Unix
o
O
MrSID
Win/U/Mac
NOeSYS
W/Mac
o
PCI Geoma-tica
Windows/Unix
Photosop
W/U/M
o
o
R-WEL
Windows
RemoteView
Windows
MacSadie
Mac
TNTmips
Windows /
Unix
OrthoView
Unix
VISILOG
Win/Unix
C-Coast
Windows
Cosmic Vicar-IBIS
Unix
NOAA
Unix
o
o
Multispec
Mac/Win
NASA ELAS (Dipix,
Unix
DtaStar
NIH Image
Unix
o

(Modifikasi dari Jensen, 2005)
Keterangan :
                                   Kemampuan signifikasi
o                                  Kemampuan sedang
Tanpa simbol               Kemampuan kurang, atau tidak tersedia fasilitas



                                         DAFTAR PUSTAKA
 Danoedoro, Projo.2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta : ANDI 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar